Laman

Minggu, 06 Juli 2014

Milikku yang Berharga

Di dalam rumah kontrakan mungilku sudah sejak sebulan yang lalu bertambah milikku yang paling berharga. Gadis manis yang tersenyum menyambut kepulanganku. Sejak sebulan yang lalu aku memilikinya, walaupun aku rasa tak seutuhnya dia ada di sini untukku. Namun, dia tetaplah milikku, milikku yang paling berharga dan akan terus aku jaga. Aku berjanji akan terus menjaganya.

“Mas Rama, udah pulang? Hari ini aku belajar masak ayam panggang. Ribet juga ternyata, Mas, pake santen, diungkepnya juga lama, terus baru mau aku panggang ini. Aku juga udah mulai hafal masak sayur asem yang enak. Terus, aku juga ada....”
“Masaknya nggak perlu banyak-banyak kita kan cuma berdua, Gin.” Aku menghentikan ocehannya tentang masakan hari ini.

Aku berada dibelakang tubuhnya, memandangnya yang sibuk melihat catatan-catatan resep masakan yang ia kumpulkan dari internet sambil terus mengolah bahan masakannya. Ia memang berbicara padaku, tapi tak memandangku. Aku menyentuh pundaknya, membuat dia berhenti sejenak dan berdiri tegak dihadapanku. Aku memandang rambut hitam kelamnya, menyentuhnya sesaat, lembut. Aku buka ikatan rambutnya dan membenahi rambutnya dengan tanganku. Kelembutan yang aku rasakan nyata ditanganku. Lembut rambut hitam kelamnya yang bergelombang.

“Sudah, sudah rapi lagi sekarang.” Aku menepuk pundaknya dengan lembut, menandakan aku sudah selesai membenahi rambut hitam kelamnya.
“Makasih, Mas.” Dia menengok ke arahku dan tersenyum sebelum akhirnya kembali sibuk dengan masakannya.

Aku meninggalkan dapur, meninggalkan istri yang aku nikahi sebulan yang lalu. Gina, gadis yang lebih muda lima tahun dariku dan sudah aku kenal sejak masa kecilku. Kami berasal dari daerah yang sama, bertetangga dengan keluarganya adalah satu pengalaman tersendiri bagi keluargaku. Kami memiliki kultur yang begitu berbeda mungkin karena perbedaan usia orangtua kami. Aku yang anak bungsu dari empat bersaudara ini saja lebih tua lima tahun dibanding Gina yang anak tunggal. Bisa aku bilang keluarga kami lebih tenang dibanding keluarganya.
Pertengkaran orangtuanya seringkali membawa Gina yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar berlari ke rumahku, melarikan diri. Dia tidak pernah menangis, walau sesedih apapun. Hanya saja ketika ditanya alasannya datang, dia akan terdiam dan menundukkan kepala sesaat, lalu mendongak dan tersenyum untuk kembali mengajakku bermain. Aku yang lebih tua lima tahun darinya menyadari bahwa dia tidak mau menceritakan itu semua. Dia memendam tangisnya sendiri dan menutupinya dengan senyuman.

“Pas banget. Mas selesai mandi, makanannya siap. Ayo Mas, cepetan nanti keburu dingin nih.” Gina mendatangiku, merangkul lenganku dan menuntunku ke meja makan.
“Lagi-lagi kamu masak banyak.”
“Kan Mas juga makannya banyak. Menu makan kan juga harus lengkap. Nih, ada sayurnya, ada lauknya.” Dengan bangganya Gina menunjukkan hasil masakannya hari ini yang sudah siap dia atas meja makan.
“Kalau dalam setahun ini aku jadi gemuk, aku tahu harus menyalahkan siapa?” Aku meliriknya, menyindir.
“Mas Rama nihhh... Aku kan udah susah masak, harus dimakan dong. Mau jadi gemuk juga aku nggak papa kok.” Dia mengakhiri perkataanya sambil tersenyum ke arahku.

Dia tersenyum. Gina kembali tersenyum malam ini. Rasanya hanya itu yang aku perlukan saat  ini untuk melepas lelahku, beban pekerjaanku. Sama seperti setahun lalu ketika dia datang ke ruanganku, ruangan baruku saat itu. Aku baru saja pulang dari studiku di luar negeri, baru saja sebulan sejak kedatanganku kembali. Aku yang ditugaskan sebagai salah satu anggota penanggungjawab laboratorium tempat aku mengajar, sempat kaget melihat dirinya masuk ke ruanganku siang itu. Mengetuk pintu seadanya dan ketika masuk langsung menyerbu dengan kata-katanya yang super cepat. Meminta penjelasanku karena tidak sempat menemuinya setelah pulang, tidak sempat mengobrol dengannya, dan akhirnya dia mengarah pada oleh-oleh yang aku janjikan padanya. Sebenarnya, siang itu aku sangat senang melihatnya lagi setelah lebih dari dua tahun tak bertemu dengannya. Senyum kekanak-kanakannya masih tetap sama, tapi aku tahu tawanya saat itu lebih tulus dari yang dulu dia lakukan. Walau penampilannya lebih dewasa dengan rambut panjangnya, tawanya tetap kekanak-kanakan. Dia tetap gadis kecil bagiku.
Siang itu, dia bicara banyak denganku, tentang kuliahnya, pilihan prodinya yang mengikutiku, tentang teman laki-lakinya yang dia taksir, hingga tentang teman-temannya di kota yang baru baginya ini. Dia banyak tersenyum siang itu, dia bilang senang bisa bertemu dan mengobrol denganku lagi. Gadis kecilku yang manis sekarang kamu sudah tumbuh makin dewasa ya? Hanya itu yang aku pikirkan siang itu. Setelah itu kami memang tidak terlalu banyak bertemu dan mengobrol seperti itu dan seperti kehidupan kami sebelumnya. Kami tahu posisi kami yang tidak bisa melakukannya dengan leluasa karena dia adalah seorang mahasiswi di tempat aku mengajar sebagai seorang dosen. Kami saling menghargai apa yang kami lakukan dan kami kerjakan.

“Enak nggak Mas?” Pertanyaannya menghentikan pikiranku.
“Enak kok, tapi buat aku agak kemanisan bumbu ayam panggangnya. Tapi sayur asemnya makin enak dari yang kemaren-kemaren itu.”
“Syukur deh, aku kira nggak enak soalnya Mas kayak mikir gitu. Kerjaannya banyak ya Mas?”
“Nggak juga, tapi semester ini waktu ngajarku kan lebih banyak dari yang semester kemarin. Oh iya, kamu sampai kapan mau cuti kuliahnya?”
“Sampai aku mau masuk lagi.” Gina menundukkan kepalanya. Sepertinya aku salah bicara. Saat seperti ini malah membuat dia kemabali pada pikiran-pikiran negatifnya. Tapi, dia kembali mendongak dan tersenyum. “Tapi, secepatnya kok Mas. Paling lama satu semester deh, aku janji.” Senyum terpaksamu itu malah membuat hatiku sakit dan kembali mengikutimu, tersenyum dengan terpaksa.
“Ya sudah yang penting yang terbaik buat Gina saja. Mas tambah lagi boleh makannya?”
“Yup, tentu boleh dong. Hehehee.” Akhirnya kamu tersenyum dengan tulus lagi, Gin. Menghilangkan ketakutanku.

Gadisku itu masih terus mencoba memendam kesedihannya. Pada akhirnya, dia sendiri yang kesakitan dan menangis ketakutan menyalahkan diri sendiri. Entah apa yang harus aku rasakan atas hal ini, toh pada saat itulah dia akan berlari ke arahku. Gadis kecil itu akan datang padaku dan mengajakku bermain, menutupi kesedihannya dengan senyum terpaksanya itu. Senyuman itu membuat aku mengerti, aku hanya perlu meladeni keinginannya dan tak banyak bertanya macam-macam. Semua ini karena tanpa perlu dia mengatakan apa yang ia rasakan, aku sudah tahu apa yang dia rasa dan dia pendam dalam kesakitannya itu. Aku hanya perlu menjadi tempat dia berteduh dan menghibur dirinya.
Gina sedang mencoba menutupi segala kesedihan yang dia rasakan saat ini. Dia sedang berjuang untuk tetap menjadi gadis tegar di hadapan semua orang. Karena semua itulah dia memutuskan untuk mengambil cuti kuliah,dia tidak mau teman-temannya tahu tentang masalah yang dihadapinya ini. Dia tak mau menyebarkan kesakitan yang dia rasakan. Menghindari lingkungan kampus sebisa mungkin, itulah yang dia lakukan. Aku hanya berharap dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan cara ini.
Setelah hari dimana dia puas menangis di hadapanku, aku tidak pernah melihat dia menangis lagi. Mungkin tidak secara terang-terangan, tapi aku masih melihat matanya yang indah itu sembab dan basah. Di dalam tidurnya pun aku masih melihat kegelisahan di raut wajahnya yang terlelap. Mengerutkan keningnya hingga meneteskan air mata saat dia tertidur dan aku hanya bisa membuka kepalan tangannya pada bantal yang dia cengkeram. Begitu kencang dan kuatnya. Kadangkala aku berpikir, ‘Sebegitu ketakutankah kau akan hal ini?’.

“Mas.” Aku menengok dan melihatnya berdiri di belakangku yang duduk di sofa depan tv. “Mas, besok libur kan, atau ada kerjaan lagi?” Gina berjalan ke arahku dan duduk di sampingku, memandangku.
“Iya, besok Mas libur, nggak ada kerjaan apa-apa di kampus. Memang kenapa?” Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Tapi mungkin tidak salah juga dia menanyakan  hal ini, toh dua minggu terakhir aku memang berangkat ke kampus walaupun itu akhir pekan karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.
“Temani aku ya, Mas.” Gina memegang tanganku saat melontarkan permohonannya ini.
“Kemana?” Kali ini aku tak bisa menebak arah pemikirannya. Gina, aku benar-benar khawatir kali ini.
“Mmmm...” Gina menundukkan kepalanya dan sebelum menjawab dia menghembuskan nafasnya yang terasa berat. “Aku mau pulang, mau ketemu sama Mama, sama Papa. Aku...” Kata-katanya terhenti dan ia mengalaihkan pandangannya, aku melihat dia sedikit ragu meneruskannya.
“Iya, besok pagi-pagi kita pulang. Mas temani Gina ketemu sama Mama Papa Gina.” Aku menggenggam balik jemarinya dengan lembut, mencoba menguatkan keputusannya untuk bertemu dengan kedua orang tua lagi setelah pernikahan kami. Dia menengadah lagi, menatap langsung ke mataku. Sepasang matanya yang indah terlihat mulai berkaca-kaca.
“Aku takut, Mas. Aku masih takut ketemu mereka.” Tiba-tiba Gina memelukku. Gina kembali menangis malam ini, di pelukanku. Aku membelai rambutnya dengan lembut, mencoba menenangkannya.
“Apalagi yang Gina khawatirkan? Sekarang ada Mas kan di sini? Gina punya Mas sekarang, Gina nggak sendirian lagi. Jadi tenanglah, mas juga udah janji kan bakal selalu nemenin Gina apapun keadaannya.” Perlahan Gina melepaskan pelukannya. Dia masih diam tertunduk saat sudah dalam posisi duduk di hadapanku. Oh Gina, gadis kecilku, aku mohon hentikan air matamu itu. Aku merasakan sakit yang sama saat kau menangis, andai saja aku mampu mengungkapkannya.
“Iya, aku ngerti, Mas. Mas Rama bakal terus ada buat aku, bakal terus nemenin aku.” Akhirnya aku dengar suaranya walaupun masih ada isak tangis diantara kata-katanya.
“Iya. Jadi nggak perlu ada yang Gina takutin lagi. Oke?” Aku menyentuh kedua pipinya yang kemerahan akibat menangis, mendongakkan wajahnya, dan menghapus perlahan aliran air matanya.

Gina menghentikan tangisnya sambil sesenggukan. Caranya menangis masih sama dengan saat dia dulu berlari ke rumahku, mungkin saat itu dia masih duduk di kelas 3 SD. Baru kali itu aku melihatnya menangis ketakutan. Gina kecil masuk begitu saja ke dalam rumahku, duduk di kursi tamu dan memeluk kedua kakinya yang dia tekuk. Dia menangis sesenggukan dan tubuhnya bergetar. Spontan saja saat itu ibuku menghampirinya, membelai rambutnya dan memeluknya. Gadis kecil itu menghentikan tangisnya, mencoba menghapus bekas air matanya.
‘Gina kenapa? Coba cerita sama Budhe.’ Ibuku menanyakan apa yang terjadi padanya setelah Gina meminum segelas air putih yang aku bawakan untuk menenangkan diri.
‘Aku takut, Budhe. Mama marah-marah, terus banting-banting barang. Papa juga marah-marah, teriak-teriak nakutin. Dua-duanya nakutin, Budhe. Tangannya nunjuk-nunjuk gini, ke muka yang lainnya. Terus, Budhe...’ Gadis kecil itu menghentikan kata-katanya, kembali menangis.
‘Sudah, sudah. Gina di sini saja dulu, nanti biar Budhe yang ke sana dulu. Ya, sayang ya?’ Ibu kembali memeluk tubuh Gina yang bergetar karena menahan tangis.
Gina kecil tak banyak bicara setelah dia menangis saat itu. Malam itu, dia tidur di rumahku, tidur bersama kakak perempuanku, mbak Astrid. Aku masih ingat sebelum dia pergi tidur, dia sempat mengajukan pertanyaan aneh saat itu padaku.
‘Mas Rama, kalau mama sama papa pisah,aku bakalan ikut siapa ya, Mas? Aku nggak tahu mau ikut siapa, aku nggak bisa milih, Mas.’ Aku sempat terkejut dengan pertanyaannya, mungkin karena aku sendiri tidak pernah berada di posisinya sekarang.
‘Gina nggak perlu milih. Mama sama papamu nggak bakal kemana-kemana kok, mereka bakal bareng terus. Toh, kalau nanti ada apa-apa kan masih ada keluargaku di sini. Lari aja ke sini lagi. Gina nggak bakal sendirian kok.’
‘Nanti kalau aku ada apa-apa, aku pasti lari ke sini. Aku mau minggat ke sini aja. Mas Rama juga nanti janji ya buat nemenin aku main juga.’
‘Dasar! Iya, iya aku janji. Aku bakalan nemenin Gina kalau memang itu kejadiannya. Sudah sana, katanya mau tidur.’ Dia tersenyum malam itu sebelum akhirnya pergi masuk ke dalam kamar kakakku. Malam itu aku tak pernah menyangka janjiku akan ditagih.

Bisa aku bilang, hari liburku kali ini penuh dengan kejutan. Entah aku bisa menyebutnya sebagai hari mengakhiri atau mungkin malah mengawali bagian yang baru. Sepertinya aku sudah banyak menghela nafas sejak duduk di depan rumah orang tuaku sore ini. Aku mencoba mencerna sekali lagi segala yang terjadi hari ini. Kami berangkat di pagi hari dan sampai di kota ini saat makan siang. Lalu, segera menuju tempat tinggal orang tua Gina dan banyak hal yang telah kami bicarakan. Satu sisi hatiku lega mendengarkan akhir pembicaraan itu, tapi sisi lainnya masih menyisakan kekhawatiran. Tentu saja, aku mengkhawatirkan gadis manisku.

“Mas Rama.” Suara lirih Gina memanggilku.
“Eh, sudah bangun. Gimana?” Aku memandangnya yang tampak lelah.
“Kepalaku jadi agak pusing, Mas.” Gina duduk di sampingku dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Mata indahnya terlihat sembab. Ya, siang ini dia banyak menangis. Rasanya seperti dia mengeluarkan segala emosi terpendamnya selama ini.
“Nggak papa, istirahatlah bentar biar baikan lagi. Gina udah banyak usaha hari ini, jangan paksain diri lagi. Semuanya udah selesai kok hari ini.” Aku sedikit mengubah posisi dudukku, merangkulnya, dan membelai rambut hitam kelamnya yang lembut dengan perlahan, mencoba menenangkannya.
“Iya, Mas. Aku udah ikhlas mama papa mau gimana habis ini. Setelah ini nggak akan banyak yang berubah kan, Mas . Aku masih tetap anak mama papa dan istri mas Rama. Itu udah cukup, Mas. Keputusan apapun yang mereka ambil aku harus menghargai itu. Walaupun itu berarti mereka nggak akan bareng lagi dan hidup masing-masing.” Mata cantik Gina lagi-lagi menerawang entah kemana.
“Ya, itu juga sudah jadi keputusan Gina. Nggak semua hal bisa berjalan sesuai yang kita mau. Kadangkala hal yang kita lihat baik malah bisa jadi hal yang paling buruk untuk semuanya. Kita nggak bisa maksain mama papa Gina untuk terus bareng kalau ternyata malah kebersamaan mereka itu adalah hal yang menyiksa bagi mereka. Nggak perlu juga menyesal tentang kebersamaan mereka yang terus harus berakhir. Toh, karena mereka berdua juga, Gina bisa ada di sini sekarang. Berterimakasihlah tentang hal ini juga. Semua sudah ada yang mengaturnya. Sudah ada yang tahu mana yang lebih baik untuk kita semua di sini. Jadi, Gina sekarang harus lebih semangat lagi, banyak ketawa lagi, dan selesaiin kuliah secepatnya. Sayang kan udah tahun-tahun akhir ini.”
“Ah, Mas Rama merusak suasana nih...” Gina melepas rangkulanku  dan menatapku.
“Lho emang apalagi yang salah?”
“Yah, suasana lagi enak kayak gini malah ngingetin soal kuliah lagi. Nggak romantis lagi kan jadinya.” Kali ini Gina memasang wajah merajuknya yang lucu sekali. Gadis kecilku yang kekanakan.
“Lha kan bener, biar nanti kalo mas ambil S3 jadi ada yang nemenin.”
“Eh, emang mau kapan perginya, Mas?”
“Segera setelah skripsimu selesai, mas mau ambil tes seleksi beasiswa S3. Mas sih maunya ke Jepang. Gimana?”  Wajah manisnya sedikit merengut, berpikir. Kadangkala menggodanya macam ini memang sedikit menarik. Melihat ekspresi  reaksinya yang selalu saja bisa membuatku terhibur.
“Wah, sore-sore gini mesra banget, sih. Hawanya udah tambah dingin lho di luar. Masuklah.” Suara ibu menghentikan pembicaraan kami.
“Iya, Budhe.” Jawaban Gina yang spontan membuat aku dan ibu menengok ke arahnya.
“Budhe? Gina belum mau ganti manggil jadi Ibu?” Aku mencoba menggodanya lagi. Gina bereaksi dengan raut wajah kaget dan kebingungan.
“Ah iya. Ibu maksud Gina.” Akhirnya Gina menjawab sambil tertunduk malu, manisnya istriku ini.
“Ahahahaa...” Setelah itu hanya tawa yang aku dengar saat kami memasuki rumah bersama-sama.
Hari ini memang banyak air mata yang menetes dari mata indahnya, memang banyak perasaan terpendamnya yang terungkap, dan memang begitu banyak emosi yang dia perlihatkan. Aku tahu sudah banyak hal yang dia pendam sendirian sejak kedua orang tuanya mulai tak akur lagi. Gadis manisku itu sudah pasti lelah dengan segalanya yang terjadi hari ini dan juga yang telah terjadi bertahun-tahun ini. Tapi, aku bahagia hari ini karena tawa cerianya sudah kembali, senyum kekanakannya telah muncul lagi, dan sifat manjanya yang menggemaskan telah lama aku menantinya. Tak apa kalau orang-orang menilaiku sebagai seorang penggila Gina dengan membaca ceritaku ini. Toh, pada dasarnya bukan Gina yang membutuhkanku, akulah yang membutuhkan keberadaannya di sampingku. Aku memang sudah tergila-gila padanya.

Saat satu hal selesai, aku menyadari akan ada hal baru yang menanti di depan sana. Tapi saat itu tiba, Gina sudah tak akan menanggung segalanya sendirian. Aku akan tetap menepati janjiku padanya untuk selalu menemaninya. Menemani seorang wanita manis yang telah menjadi milikku yang berharga dan akan selalu kujaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar