Di dalam rumah
kontrakan mungilku sudah sejak sebulan yang lalu bertambah milikku yang paling
berharga. Gadis manis yang tersenyum menyambut kepulanganku. Sejak sebulan yang
lalu aku memilikinya, walaupun aku rasa tak seutuhnya dia ada di sini untukku. Namun,
dia tetaplah milikku, milikku yang paling berharga dan akan terus aku jaga. Aku
berjanji akan terus menjaganya.
“Mas Rama, udah
pulang? Hari ini aku belajar masak ayam panggang. Ribet juga ternyata, Mas,
pake santen, diungkepnya juga lama, terus baru mau aku panggang ini. Aku juga
udah mulai hafal masak sayur asem yang enak. Terus, aku juga ada....”
“Masaknya nggak
perlu banyak-banyak kita kan cuma berdua, Gin.” Aku menghentikan ocehannya
tentang masakan hari ini.
Aku berada
dibelakang tubuhnya, memandangnya yang sibuk melihat catatan-catatan resep
masakan yang ia kumpulkan dari internet sambil terus mengolah bahan masakannya.
Ia memang berbicara padaku, tapi tak memandangku. Aku menyentuh pundaknya,
membuat dia berhenti sejenak dan berdiri tegak dihadapanku. Aku memandang
rambut hitam kelamnya, menyentuhnya sesaat, lembut. Aku buka ikatan rambutnya
dan membenahi rambutnya dengan tanganku. Kelembutan yang aku rasakan nyata
ditanganku. Lembut rambut hitam kelamnya yang bergelombang.
“Sudah, sudah
rapi lagi sekarang.” Aku menepuk pundaknya dengan lembut, menandakan aku sudah
selesai membenahi rambut hitam kelamnya.
“Makasih, Mas.”
Dia menengok ke arahku dan tersenyum sebelum akhirnya kembali sibuk dengan
masakannya.
Aku meninggalkan
dapur, meninggalkan istri yang aku nikahi sebulan yang lalu. Gina, gadis yang
lebih muda lima tahun dariku dan sudah aku kenal sejak masa kecilku. Kami
berasal dari daerah yang sama, bertetangga dengan keluarganya adalah satu
pengalaman tersendiri bagi keluargaku. Kami memiliki kultur yang begitu berbeda
mungkin karena perbedaan usia orangtua kami. Aku yang anak bungsu dari empat
bersaudara ini saja lebih tua lima tahun dibanding Gina yang anak tunggal. Bisa
aku bilang keluarga kami lebih tenang dibanding keluarganya.
Pertengkaran
orangtuanya seringkali membawa Gina yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah
Dasar berlari ke rumahku, melarikan diri. Dia tidak pernah menangis, walau
sesedih apapun. Hanya saja ketika ditanya alasannya datang, dia akan terdiam
dan menundukkan kepala sesaat, lalu mendongak dan tersenyum untuk kembali
mengajakku bermain. Aku yang lebih tua lima tahun darinya menyadari bahwa dia
tidak mau menceritakan itu semua. Dia memendam tangisnya sendiri dan menutupinya
dengan senyuman.
“Pas banget. Mas
selesai mandi, makanannya siap. Ayo Mas, cepetan nanti keburu dingin nih.” Gina
mendatangiku, merangkul lenganku dan menuntunku ke meja makan.
“Lagi-lagi kamu
masak banyak.”
“Kan Mas juga
makannya banyak. Menu makan kan juga harus lengkap. Nih, ada sayurnya, ada
lauknya.” Dengan bangganya Gina menunjukkan hasil masakannya hari ini yang
sudah siap dia atas meja makan.
“Kalau dalam
setahun ini aku jadi gemuk, aku tahu harus menyalahkan siapa?” Aku meliriknya,
menyindir.
“Mas Rama
nihhh... Aku kan udah susah masak, harus dimakan dong. Mau jadi gemuk juga aku
nggak papa kok.” Dia mengakhiri perkataanya sambil tersenyum ke arahku.
Dia tersenyum.
Gina kembali tersenyum malam ini. Rasanya hanya itu yang aku perlukan saat ini untuk melepas lelahku, beban pekerjaanku.
Sama seperti setahun lalu ketika dia datang ke ruanganku, ruangan baruku saat
itu. Aku baru saja pulang dari studiku di luar negeri, baru saja sebulan sejak
kedatanganku kembali. Aku yang ditugaskan sebagai salah satu anggota
penanggungjawab laboratorium tempat aku mengajar, sempat kaget melihat dirinya
masuk ke ruanganku siang itu. Mengetuk pintu seadanya dan ketika masuk langsung
menyerbu dengan kata-katanya yang super cepat. Meminta penjelasanku karena
tidak sempat menemuinya setelah pulang, tidak sempat mengobrol dengannya, dan
akhirnya dia mengarah pada oleh-oleh yang aku janjikan padanya. Sebenarnya,
siang itu aku sangat senang melihatnya lagi setelah lebih dari dua tahun tak
bertemu dengannya. Senyum kekanak-kanakannya masih tetap sama, tapi aku tahu
tawanya saat itu lebih tulus dari yang dulu dia lakukan. Walau penampilannya
lebih dewasa dengan rambut panjangnya, tawanya tetap kekanak-kanakan. Dia tetap
gadis kecil bagiku.
Siang itu, dia
bicara banyak denganku, tentang kuliahnya, pilihan prodinya yang mengikutiku,
tentang teman laki-lakinya yang dia taksir, hingga tentang teman-temannya di
kota yang baru baginya ini. Dia banyak tersenyum siang itu, dia bilang senang
bisa bertemu dan mengobrol denganku lagi. Gadis kecilku yang manis sekarang
kamu sudah tumbuh makin dewasa ya? Hanya itu yang aku pikirkan siang itu.
Setelah itu kami memang tidak terlalu banyak bertemu dan mengobrol seperti itu
dan seperti kehidupan kami sebelumnya. Kami tahu posisi kami yang tidak bisa
melakukannya dengan leluasa karena dia adalah seorang mahasiswi di tempat aku
mengajar sebagai seorang dosen. Kami saling menghargai apa yang kami lakukan
dan kami kerjakan.
“Enak nggak Mas?”
Pertanyaannya menghentikan pikiranku.
“Enak kok, tapi
buat aku agak kemanisan bumbu ayam panggangnya. Tapi sayur asemnya makin enak
dari yang kemaren-kemaren itu.”
“Syukur deh, aku
kira nggak enak soalnya Mas kayak mikir gitu. Kerjaannya banyak ya Mas?”
“Nggak juga, tapi
semester ini waktu ngajarku kan lebih banyak dari yang semester kemarin. Oh
iya, kamu sampai kapan mau cuti kuliahnya?”
“Sampai aku mau
masuk lagi.” Gina menundukkan kepalanya. Sepertinya aku salah bicara. Saat
seperti ini malah membuat dia kemabali pada pikiran-pikiran negatifnya. Tapi,
dia kembali mendongak dan tersenyum. “Tapi, secepatnya kok Mas. Paling lama
satu semester deh, aku janji.” Senyum terpaksamu itu malah membuat hatiku sakit
dan kembali mengikutimu, tersenyum dengan terpaksa.
“Ya sudah yang
penting yang terbaik buat Gina saja. Mas tambah lagi boleh makannya?”
“Yup, tentu boleh
dong. Hehehee.” Akhirnya kamu tersenyum dengan tulus lagi, Gin. Menghilangkan
ketakutanku.
Gadisku itu masih
terus mencoba memendam kesedihannya. Pada akhirnya, dia sendiri yang kesakitan
dan menangis ketakutan menyalahkan diri sendiri. Entah apa yang harus aku
rasakan atas hal ini, toh pada saat itulah dia akan berlari ke arahku. Gadis
kecil itu akan datang padaku dan mengajakku bermain, menutupi kesedihannya
dengan senyum terpaksanya itu. Senyuman itu membuat aku mengerti, aku hanya
perlu meladeni keinginannya dan tak banyak bertanya macam-macam. Semua ini
karena tanpa perlu dia mengatakan apa yang ia rasakan, aku sudah tahu apa yang
dia rasa dan dia pendam dalam kesakitannya itu. Aku hanya perlu menjadi tempat
dia berteduh dan menghibur dirinya.
Gina sedang
mencoba menutupi segala kesedihan yang dia rasakan saat ini. Dia sedang
berjuang untuk tetap menjadi gadis tegar di hadapan semua orang. Karena semua
itulah dia memutuskan untuk mengambil cuti kuliah,dia tidak mau teman-temannya
tahu tentang masalah yang dihadapinya ini. Dia tak mau menyebarkan kesakitan
yang dia rasakan. Menghindari lingkungan kampus sebisa mungkin, itulah yang dia
lakukan. Aku hanya berharap dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan
cara ini.
Setelah hari
dimana dia puas menangis di hadapanku, aku tidak pernah melihat dia menangis
lagi. Mungkin tidak secara terang-terangan, tapi aku masih melihat matanya yang
indah itu sembab dan basah. Di dalam tidurnya pun aku masih melihat kegelisahan
di raut wajahnya yang terlelap. Mengerutkan keningnya hingga meneteskan air
mata saat dia tertidur dan aku hanya bisa membuka kepalan tangannya pada bantal
yang dia cengkeram. Begitu kencang dan kuatnya. Kadangkala aku berpikir,
‘Sebegitu ketakutankah kau akan hal ini?’.
“Mas.” Aku
menengok dan melihatnya berdiri di belakangku yang duduk di sofa depan tv.
“Mas, besok libur kan, atau ada kerjaan lagi?” Gina berjalan ke arahku dan
duduk di sampingku, memandangku.
“Iya, besok Mas
libur, nggak ada kerjaan apa-apa di kampus. Memang kenapa?” Aku sedikit heran
dengan pertanyaannya. Tapi mungkin tidak salah juga dia menanyakan hal ini, toh dua minggu terakhir aku memang
berangkat ke kampus walaupun itu akhir pekan karena ada pekerjaan yang harus
aku selesaikan.
“Temani aku ya,
Mas.” Gina memegang tanganku saat melontarkan permohonannya ini.
“Kemana?” Kali
ini aku tak bisa menebak arah pemikirannya. Gina, aku benar-benar khawatir kali
ini.
“Mmmm...” Gina
menundukkan kepalanya dan sebelum menjawab dia menghembuskan nafasnya yang
terasa berat. “Aku mau pulang, mau ketemu sama Mama, sama Papa. Aku...”
Kata-katanya terhenti dan ia mengalaihkan pandangannya, aku melihat dia sedikit
ragu meneruskannya.
“Iya, besok
pagi-pagi kita pulang. Mas temani Gina ketemu sama Mama Papa Gina.” Aku
menggenggam balik jemarinya dengan lembut, mencoba menguatkan keputusannya
untuk bertemu dengan kedua orang tua lagi setelah pernikahan kami. Dia
menengadah lagi, menatap langsung ke mataku. Sepasang matanya yang indah
terlihat mulai berkaca-kaca.
“Aku takut, Mas.
Aku masih takut ketemu mereka.” Tiba-tiba Gina memelukku. Gina kembali menangis
malam ini, di pelukanku. Aku membelai rambutnya dengan lembut, mencoba
menenangkannya.
“Apalagi yang
Gina khawatirkan? Sekarang ada Mas kan di sini? Gina punya Mas sekarang, Gina
nggak sendirian lagi. Jadi tenanglah, mas juga udah janji kan bakal selalu
nemenin Gina apapun keadaannya.” Perlahan Gina melepaskan pelukannya. Dia masih
diam tertunduk saat sudah dalam posisi duduk di hadapanku. Oh Gina, gadis
kecilku, aku mohon hentikan air matamu itu. Aku merasakan sakit yang sama saat
kau menangis, andai saja aku mampu mengungkapkannya.
“Iya, aku ngerti,
Mas. Mas Rama bakal terus ada buat aku, bakal terus nemenin aku.” Akhirnya aku
dengar suaranya walaupun masih ada isak tangis diantara kata-katanya.
“Iya. Jadi nggak
perlu ada yang Gina takutin lagi. Oke?” Aku menyentuh kedua pipinya yang
kemerahan akibat menangis, mendongakkan wajahnya, dan menghapus perlahan aliran
air matanya.
Gina menghentikan
tangisnya sambil sesenggukan. Caranya menangis masih sama dengan saat dia dulu
berlari ke rumahku, mungkin saat itu dia masih duduk di kelas 3 SD. Baru kali
itu aku melihatnya menangis ketakutan. Gina kecil masuk begitu saja ke dalam
rumahku, duduk di kursi tamu dan memeluk kedua kakinya yang dia tekuk. Dia
menangis sesenggukan dan tubuhnya bergetar. Spontan saja saat itu ibuku
menghampirinya, membelai rambutnya dan memeluknya. Gadis kecil itu menghentikan
tangisnya, mencoba menghapus bekas air matanya.
‘Gina kenapa? Coba cerita sama Budhe.’
Ibuku menanyakan apa yang terjadi padanya setelah Gina meminum segelas air
putih yang aku bawakan untuk menenangkan diri.
‘Aku takut, Budhe. Mama marah-marah, terus banting-banting barang.
Papa juga marah-marah, teriak-teriak nakutin. Dua-duanya nakutin, Budhe.
Tangannya nunjuk-nunjuk gini, ke muka yang lainnya. Terus, Budhe...’
Gadis kecil itu menghentikan kata-katanya, kembali menangis.
‘Sudah, sudah. Gina di sini saja dulu, nanti biar Budhe yang ke
sana dulu. Ya, sayang ya?’ Ibu kembali memeluk tubuh Gina yang
bergetar karena menahan tangis.
Gina kecil tak
banyak bicara setelah dia menangis saat itu. Malam itu, dia tidur di rumahku,
tidur bersama kakak perempuanku, mbak Astrid. Aku masih ingat sebelum dia pergi
tidur, dia sempat mengajukan pertanyaan aneh saat itu padaku.
‘Mas Rama, kalau mama sama papa pisah,aku bakalan ikut siapa ya,
Mas? Aku nggak tahu mau ikut siapa, aku nggak bisa milih, Mas.’
Aku sempat terkejut dengan pertanyaannya, mungkin karena aku sendiri tidak
pernah berada di posisinya sekarang.
‘Gina nggak perlu milih. Mama sama papamu nggak bakal
kemana-kemana kok, mereka bakal bareng terus. Toh, kalau nanti ada apa-apa kan
masih ada keluargaku di sini. Lari aja ke sini lagi. Gina nggak bakal sendirian
kok.’
‘Nanti kalau aku ada apa-apa, aku pasti lari ke sini. Aku mau
minggat ke sini aja. Mas Rama juga nanti janji ya buat nemenin aku main juga.’
‘Dasar! Iya, iya aku janji. Aku bakalan nemenin Gina kalau memang
itu kejadiannya. Sudah sana, katanya mau tidur.’
Dia tersenyum malam itu sebelum akhirnya pergi masuk ke dalam kamar kakakku.
Malam itu aku tak pernah menyangka janjiku akan ditagih.
Bisa aku bilang,
hari liburku kali ini penuh dengan kejutan. Entah aku bisa menyebutnya sebagai
hari mengakhiri atau mungkin malah mengawali bagian yang baru. Sepertinya aku
sudah banyak menghela nafas sejak duduk di depan rumah orang tuaku sore ini.
Aku mencoba mencerna sekali lagi segala yang terjadi hari ini. Kami berangkat
di pagi hari dan sampai di kota ini saat makan siang. Lalu, segera menuju
tempat tinggal orang tua Gina dan banyak hal yang telah kami bicarakan. Satu sisi
hatiku lega mendengarkan akhir pembicaraan itu, tapi sisi lainnya masih
menyisakan kekhawatiran. Tentu saja, aku mengkhawatirkan gadis manisku.
“Mas Rama.” Suara
lirih Gina memanggilku.
“Eh, sudah
bangun. Gimana?” Aku memandangnya yang tampak lelah.
“Kepalaku jadi
agak pusing, Mas.” Gina duduk di sampingku dan menyandarkan kepalanya di
pundakku. Mata indahnya terlihat sembab. Ya, siang ini dia banyak menangis. Rasanya
seperti dia mengeluarkan segala emosi terpendamnya selama ini.
“Nggak papa,
istirahatlah bentar biar baikan lagi. Gina udah banyak usaha hari ini, jangan
paksain diri lagi. Semuanya udah selesai kok hari ini.” Aku sedikit mengubah
posisi dudukku, merangkulnya, dan membelai rambut hitam kelamnya yang lembut
dengan perlahan, mencoba menenangkannya.
“Iya, Mas. Aku
udah ikhlas mama papa mau gimana habis ini. Setelah ini nggak akan banyak yang
berubah kan, Mas . Aku masih tetap anak mama papa dan istri mas Rama. Itu udah
cukup, Mas. Keputusan apapun yang mereka ambil aku harus menghargai itu. Walaupun
itu berarti mereka nggak akan bareng lagi dan hidup masing-masing.” Mata cantik
Gina lagi-lagi menerawang entah kemana.
“Ya, itu juga
sudah jadi keputusan Gina. Nggak semua hal bisa berjalan sesuai yang kita mau.
Kadangkala hal yang kita lihat baik malah bisa jadi hal yang paling buruk untuk
semuanya. Kita nggak bisa maksain mama papa Gina untuk terus bareng kalau
ternyata malah kebersamaan mereka itu adalah hal yang menyiksa bagi mereka.
Nggak perlu juga menyesal tentang kebersamaan mereka yang terus harus berakhir.
Toh, karena mereka berdua juga, Gina bisa ada di sini sekarang. Berterimakasihlah
tentang hal ini juga. Semua sudah ada yang mengaturnya. Sudah ada yang tahu
mana yang lebih baik untuk kita semua di sini. Jadi, Gina sekarang harus lebih
semangat lagi, banyak ketawa lagi, dan selesaiin kuliah secepatnya. Sayang kan
udah tahun-tahun akhir ini.”
“Ah, Mas Rama merusak
suasana nih...” Gina melepas rangkulanku
dan menatapku.
“Lho emang
apalagi yang salah?”
“Yah, suasana
lagi enak kayak gini malah ngingetin soal kuliah lagi. Nggak romantis lagi kan
jadinya.” Kali ini Gina memasang wajah merajuknya yang lucu sekali. Gadis kecilku
yang kekanakan.
“Lha kan bener,
biar nanti kalo mas ambil S3 jadi ada yang nemenin.”
“Eh, emang mau
kapan perginya, Mas?”
“Segera setelah
skripsimu selesai, mas mau ambil tes seleksi beasiswa S3. Mas sih maunya ke
Jepang. Gimana?” Wajah manisnya sedikit
merengut, berpikir. Kadangkala menggodanya macam ini memang sedikit menarik. Melihat
ekspresi reaksinya yang selalu saja bisa
membuatku terhibur.
“Wah, sore-sore
gini mesra banget, sih. Hawanya udah tambah dingin lho di luar. Masuklah.”
Suara ibu menghentikan pembicaraan kami.
“Iya, Budhe.”
Jawaban Gina yang spontan membuat aku dan ibu menengok ke arahnya.
“Budhe? Gina
belum mau ganti manggil jadi Ibu?” Aku mencoba menggodanya lagi. Gina bereaksi
dengan raut wajah kaget dan kebingungan.
“Ah iya. Ibu
maksud Gina.” Akhirnya Gina menjawab sambil tertunduk malu, manisnya istriku
ini.
“Ahahahaa...” Setelah
itu hanya tawa yang aku dengar saat kami memasuki rumah bersama-sama.
Hari ini memang
banyak air mata yang menetes dari mata indahnya, memang banyak perasaan
terpendamnya yang terungkap, dan memang begitu banyak emosi yang dia
perlihatkan. Aku tahu sudah banyak hal yang dia pendam sendirian sejak kedua
orang tuanya mulai tak akur lagi. Gadis manisku itu sudah pasti lelah dengan segalanya
yang terjadi hari ini dan juga yang telah terjadi bertahun-tahun ini. Tapi, aku
bahagia hari ini karena tawa cerianya sudah kembali, senyum kekanakannya telah
muncul lagi, dan sifat manjanya yang menggemaskan telah lama aku menantinya. Tak
apa kalau orang-orang menilaiku sebagai seorang penggila Gina dengan membaca
ceritaku ini. Toh, pada dasarnya bukan Gina yang membutuhkanku, akulah yang
membutuhkan keberadaannya di sampingku. Aku memang sudah tergila-gila padanya.
Saat satu hal
selesai, aku menyadari akan ada hal baru yang menanti di depan sana. Tapi saat
itu tiba, Gina sudah tak akan menanggung segalanya sendirian. Aku akan tetap
menepati janjiku padanya untuk selalu menemaninya. Menemani seorang wanita
manis yang telah menjadi milikku yang berharga dan akan selalu kujaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar