Laman

Kamis, 03 Juli 2014

Cerpen: Sayangnya Aku bukan lagi anak SMA

Sayangnya aku bukan lagi anak SMA. Hal macam inilah yang terlintas dalam benakku saat mengingat hal-hal gila yang dulu pernah terjadi di masa SMA-ku. Ah, tenang saja ini bukan kisah sedih penyesalanku, tapi hari ini aku kembali ke SMA sebagai tokoh yang berbeda. Hari ini aku datang tanpa seragam dan tanpa ranselku, aku datang sebagai guru baru. Tanpa sadar aku pun tersenyum sendiri melihat gedung sekolahku ini. Aku rasa aku benar-benar merindukannya. Ya, aku merindukan masa SMA-ku.
“Rasti, sudah siap masuk kelas?” Ah, beliau adalah pak Dias, guru yang aku taksir saat SMA. Tak sangka sekarang jadi teman kerja. Wah, jadi ketawa-ketawa sendiri nih aku.
“Ah, iya Pak. Saya ke kelas X-6 pagi ini.”
“Baguslah, saya ada di kelas sebelahnya. Ayo, ke sana.” Pak Dias menyeimbangkan langkahnya denganku sambil tersenyum ramah.
“Pak Dias memang nggak berubah ya dari dulu, tetap santai dan ramah. Pasti sekarang yang jadi fans Bapak juga banyak ya?” Ah, sial aku kelepasan menanyakannya.
“Ah, tidak juga. Dari tahun ke tahun makin sedikit kok populasi fansku. Ah, tenang saja, belum ada yang mengalahkanmu Ras, kalau soal fans di sekolah ini.” Pak Dias lagi-lagi tersenyum. Tapi, aku malah merasa ingin mati saja kalau mengingat kebodohanku dulu. Sial, sial, sial. Benar-benar salah topik pagi ini.
Aku benar-benar bukan anak SMA lagi ya? Melihat tawa mereka saja jadi mengingatkanku tentang keusilan teman-teman satu kelasku. Permainan anak-anak yang kami mainkan telah membuat rusuh satu sekolah dan alhasil membuat kami harus dihukum menjadi jemuran manusia di lapangan tengah sekolah. Malunya harus jadi tontonan satu sekolah saat itu. Ah, aku jadi ingat sepulang sekolah seperti ini juga, dulu Arya sering main basket sebelum pulang ke rumah. Si bodoh itu memang tak pernah memperdulikan panasnya matahari. Tapi, sepertinya aku lebih bodoh lagi karena mau saja menunggunya sampai puas bermain basket. Bego.
“Sudah selesai mengajar hari ini, Bu guru?”
“Ah, iya sudah.” Tanpa sadar saat ini aku sudah terduduk di undakan teras menikmati permainan anak-anak basket. Tapi ini kan suara, “Ah, Mas kok ada di sini? Lah, emangnya dibolehin masuk ya?” Aku kaget dan tanpa sadar jariku sudah menunjuk-nunjuknya.
“Hey, dasar nggak sopan.” Dia menurunkan jari telunjukku. “Ah, kayaknya udah lama aku gak main basket. Aku mau ikutan main dulu ya. Titip jaket ini dulu.” Dia melepas jaket yang dikenakannya dan langsung masuk lapangan.
“Ah, tapi Mas... Mas...” Terlambat sudah. Si bodoh itu lagi-lagi membuatku harus menunggu dan hanya melihat kesenangannya bermain basket. Ternyata memang aku ini lebih bodoh dari si bodoh itu. Fixed, aku dicuekin kali ini, lagi.
Tak kusangka dia cepat juga akrab dengan anak-anak basket itu. Aku tak habis pikir apa ini semacam kutukan atau penyakit turun temurun. Anak basket sekolah  ini dari dulu memang tak pernah berubah, sama seperti si bodoh itu yang rela kepanasan dan basah oleh keringat. Ah, tapi siswi sekolah ini juga masih belum berubah. Aku masih bisa lihat anak-anak perempuan sesekali berteriak seru menonton permainan basket dari lantai dua. Mereka sampai menunjuk-menunjuk ke tengah lapangan pula. Apa mereka nggak sadar kalau yang main di tengah lapangan mungkin saja sadar kalau diperhatikan? Mungkin ini juga sebuah kutukan atau mungkin penyakit bodoh yang turun temurun. Hehehee
Aku masih ingat dulu sewaktu Arya melarangku untuk ikutan nonton dari lantai dua. Katanya, “Besok-besok jangan liat basket dari lantai dua sambil nunjuk-nunjuk gitu ya. Nanti yang lain ikutan GR. Kan kamu liatinnya aku doang bukan yang lain.” Cih, orang yang satu itu benar-benar bodoh dan narsis pula. Kalau kata-katanya seperti itu bukannya dia yang GR. Heran, aku.
“Lho, Rasti kok masih di sini?” Aku menengok dan ternyata pak Dias berdiri di sampingku.
“Oh Pak, saya sedang menunggu orang itu.” Aku menunjuk ke arahnya yang sedang asyik bermain di tengah lapangan.
“Wah, masih semangat saja dia main basket. Kamu juga masih setia saja menunggunya selesai main. Ahahahaa.. kalian ini memang pasangan yang selalu punya kejutan ya?” Pak Dias malah jadi ikutan duduk di sampingku.
“Yah, maaf deh, Pak, kalau ini juga mengenai kebodohan kami berdua dulu. Saya juga nggak nyangka kalo bakal kayak gitu jadinya, Pak. Tapi, saya jadi sadar kalau orang itu ternyata memang tulus suka sama saya, Pak.” Aku hanya mampu tersenyum malu.
“Ahahaa... iya, memang sih bikin heboh satu sekolah juga waktu itu. Waktu Arya tiba-tiba datang ke arahku dan hampir saja pukulannya mengenai wajahku. Untung itu bukan di ruang guru.”
“Tapi kan masih di wilayah sekolah, Pak. Masih di parkiran. Huuftt..” Aku hanya mampu menghela nafas mengingat kejadian itu.
“Yah, tapi masih untung juga nggak diperpanjang kan masalahnya dan dia masih bisa sekolah di sini sampai lulus. Sayang kalau siswa berprestasi seperti dia sampai dikeluarkan. Aku juga sudah dengar masa kuliahnya juga singkat dan nilainya bagus.”
“Yah memang untung cuma diskors seminggu, ternyata juga nggak menimbulkan masalah dengan belajarnya. Tapi, ada untungnya juga Pak dia diskors, waktu itu dia bilang jadi hafal susunan buku di perpus sekolah. Selama diskors, dia masih datang ke sekolah dan selalu di perpus. Yah, walaupun lebih sering numpang tidur. Ahahaa...”
“Iya-ya. Dia memang anak cerdas dan juga nekat. Nyaris memukul dan langsung memaki guru dengan kata-kata kasar. Tapi, semua dia lakukan hanya untuk membela orang yang sangat dia sukai kan, Ras? Pasti kamu bahagia sekali saat itu. Benar-benar pasangan yang penuh kejutan.”
“Yah, waktu itu antara senang dan juga malu rasanya. Itu semua juga seharusnya menjadi tanggung jawab saya. Dia mengira saya menangis gara-gara pak Dias. Ternyata, dia lihat waktu saya bicara dengan Pak Dias dan menangis saat itu. Setelah itu, saya bertengkar dengannya di kelas, dia menunggu saya di sana. Menanyakan dengan kasar apa yang saya bicarakan dengan bapak dan juga kenapa saya menangis. Dia itu...”
“Cemburu.” Pak Dias memotong kata-kataku.
“Eh?” Aku langsung menengok ke arah Pak Dias dengan wajah yang memerah.
“Ya. Dia waktu itu cemburu kan? Dia mengira kamu bilang suka dan aku menolakmu. Dia bilang seperti itu saat kami bicara berdua saja setelahnya. Kalian benar-benar pasangan yang bikin repot saat itu.”
“Ah iya Pak Dias benar. Tapi, terima kasih untuk waktu itu ya, Pak. Juga, mohon bantuannya sebagai rekan kerja untuk selanjutnya. Hehehe...” Kami berdua tersenyum dan tertawa bersama di sana mengingat tentang kejadian saat aku menjadi anak SMA. Ya, aku bukan anak SMA lagi.
Aku jadi teringat dengan perasaan senang, takut, dan malu yang bercampuk aduk saat itu. Meminta maaf sambil menangis di depan para guru hanya untuk membela si bodoh satu itu. Setelahnya, aku heran dengan diriku sendiri yang masih bertenaga untuk memakinya dengan segala kebodohannya itu. Kami sempat tidak saling bicara setelah kejadian itu. Benar-benar perang dingin .
Ternyata, saat itu memang masih anak SMA yang bingung saat sadar sudah menyukai teman sendiri. Beberapa hari setelahnya aku mendatanginya di perpustakaan sekolah. Aku melihatnya tertidur di sana, rasanya nggak rela harus bangunin dia saat itu. Jarang-jarang kan lihat dia diam kayak gitu, jadi sedikit lebih manis lihatnya. Hehehee...Yah, saat itu kami baikan dan hubungan kami terus membaik hingga saat ini.
“Pak Dias. Selamat siang, Pak.” Mereka saling menjabat tangan.
“Siang, Arya. Wah, sekarang rasanya sudah jauh lebih dewasa ya, nggak nyangka dulu saya sempat jadi guru kalian. Berasa tua saya sekarang.” Pak Dias memandang kami bergantian.
“Mas, sudah selesai mainnya kan?” Aku ikutan berdiri dan menyodorkan jaketnya.
“Wah, sekarang manggilnya mas ya? Kemajuan dan kejutan lagi.” Wajahku lagi-lagi memerah dengan perkataan Pak Dias ini.
“Ah, Pak Dias nih. Kan sekarang dia sudah resmi jadi milikku seorang, Pak. Masa iya, manggilnya masih ‘Arya, Ya, Arya’. Kemajuan sedikit dong, Pak.”
“Ahahaha...” Dua laki-laki itu sekarang bisa tertawa bersama. Aku senang.
Aku memang bukan lagi anak SMA. Sekarang aku adalah seorang guru di sekolah ini. Aku mungkin masih menjadi fans dari pak Dias, tapi aku juga sudah menjadi rekan kerjanya. Aku juga bukan lagi berstatus pacar bagi Arya, tapi sudah menajdi istri dari mas Arya. Kalau orang lain mungkin akan berhenti bekerja karena menikah, sedangkan aku malah sebaliknya. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan ini setelah menikah. Aneh memang cara hidupku berjalan. Sama anehnya dengan cara Tuhan untuk mendekatkan kami sekarang. Berawal dari teman, sahabat, pertengkaran, rasa suka, marah, malu, bimbang, hingga cinta. Ah, benar-benar berawal sejak aku masih jadi anak SMA.
 “Ah, Ras. Jadi berasa nostalgia ya?”
“Dasar tua!!!” Aku mempercepat langkahku mendahului Mas Arya berjalan di depanku untuk menuju tempat parkir.
“Heeiiii... Kita kan tuanya sama-sama. Tapi, beneran lho ini kayaknya baru kemaren aku pulang sekolah bareng-bareng sama kamu. Main basket sambil kamu tungguin. Pak Dias juga nggak banyak berubah kan? Wah, bener-bener sudah berapa tahun ya kita nggak pulang bareng kayak gini dari sekolah?”
“Mas, mas ke sini naik apa? Jangan bilang...” Aku berhenti melangkah dan membalikkan tubuhku. Aku menatapnya lekat-lekat.
“Naik motor lahh... ini kan nostalgia...” Dia benar-benar mengucapkannya dengan enteng.
“Mas, hari ini kan aku pake rok selutut. Mas ini gimana sih. Kan nanti susah boncengnya. Aahhh....” Aku mulai merengek.
“Ah, dulu juga kan seragammu rok pendek selutut dan nggak masalah kan?” Benar-benar deh, santai banget jawabnya.
“Aku kan bukan anak SMA lagi, Mas.”
“Ah, gimana kalau habis ini kita makan di tempat bakso yang dulu biasa kita datengin kalau pulang telat. Sekalian ngerayain hari pertama kamu kerja. Kan aku juga cuti buat ini. Ayo, aku juga udah lapar.” Huufftt... Fixed, aku dicuekin lagi.

Ternyata, memang sudah bukan anak SMA lagi ya. Tapi, beruntungnya aku masih tetap saling menyukai dengan orang sama saat SMA. Cincin senada yang kami kenakan di jari manis kami sejak tiga bulan lalu bisa jadi bukti dan saksinya. Memang tak banyak yang berubah dari cara kami saling menyayangi, tapi kami berubah dengan cara kami menjalani hubungan ini. Semua hal yang pernah kami jalani berdua sejak SMA, memang telah menjadi kenangan. Aku bahagia hari ini bisa sedikit mengingat kebahagiaan dan keceriaan di masa SMA-ku. Ah ternyata, memang sayang ya aku bukan anak SMA lagi. Heheheee...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar