Sayangnya
aku bukan lagi anak SMA. Hal macam inilah yang terlintas dalam benakku saat
mengingat hal-hal gila yang dulu pernah terjadi di masa SMA-ku. Ah, tenang saja
ini bukan kisah sedih penyesalanku, tapi hari ini aku kembali ke SMA sebagai
tokoh yang berbeda. Hari ini aku datang tanpa seragam dan tanpa ranselku, aku
datang sebagai guru baru. Tanpa sadar aku pun tersenyum sendiri melihat gedung
sekolahku ini. Aku rasa aku benar-benar merindukannya. Ya, aku merindukan masa
SMA-ku.
“Rasti, sudah siap masuk kelas?” Ah, beliau
adalah pak Dias, guru yang aku taksir saat SMA. Tak sangka sekarang jadi teman
kerja. Wah, jadi ketawa-ketawa sendiri nih aku.
“Ah, iya Pak. Saya ke kelas X-6 pagi ini.”
“Baguslah, saya ada di kelas sebelahnya. Ayo,
ke sana.” Pak Dias menyeimbangkan langkahnya denganku sambil tersenyum ramah.
“Pak Dias memang nggak berubah ya dari dulu,
tetap santai dan ramah. Pasti sekarang yang jadi fans Bapak juga banyak ya?”
Ah, sial aku kelepasan menanyakannya.
“Ah,
tidak juga. Dari tahun ke tahun makin sedikit kok populasi fansku. Ah, tenang
saja, belum ada yang mengalahkanmu Ras, kalau soal fans di sekolah ini.” Pak
Dias lagi-lagi tersenyum. Tapi, aku malah merasa ingin mati saja kalau
mengingat kebodohanku dulu. Sial, sial, sial. Benar-benar salah topik pagi ini.
Aku
benar-benar bukan anak SMA lagi ya? Melihat tawa mereka saja jadi
mengingatkanku tentang keusilan teman-teman satu kelasku. Permainan anak-anak
yang kami mainkan telah membuat rusuh satu sekolah dan alhasil membuat kami
harus dihukum menjadi jemuran manusia di lapangan tengah sekolah. Malunya harus
jadi tontonan satu sekolah saat itu. Ah, aku jadi ingat sepulang sekolah
seperti ini juga, dulu Arya sering main basket sebelum pulang ke rumah. Si
bodoh itu memang tak pernah memperdulikan panasnya matahari. Tapi, sepertinya
aku lebih bodoh lagi karena mau saja menunggunya sampai puas bermain basket.
Bego.
“Sudah selesai mengajar hari ini, Bu guru?”
“Ah, iya sudah.” Tanpa sadar saat ini aku
sudah terduduk di undakan teras menikmati permainan anak-anak basket. Tapi ini
kan suara, “Ah, Mas kok ada di sini? Lah, emangnya dibolehin masuk ya?” Aku
kaget dan tanpa sadar jariku sudah menunjuk-nunjuknya.
“Hey, dasar nggak sopan.” Dia menurunkan jari
telunjukku. “Ah, kayaknya udah lama aku gak main basket. Aku mau ikutan main
dulu ya. Titip jaket ini dulu.” Dia melepas jaket yang dikenakannya dan
langsung masuk lapangan.
“Ah,
tapi Mas... Mas...” Terlambat sudah. Si bodoh itu lagi-lagi membuatku harus
menunggu dan hanya melihat kesenangannya bermain basket. Ternyata memang aku
ini lebih bodoh dari si bodoh itu. Fixed, aku dicuekin kali ini, lagi.
Tak kusangka dia cepat juga akrab dengan
anak-anak basket itu. Aku tak habis pikir apa ini semacam kutukan atau penyakit
turun temurun. Anak basket sekolah ini
dari dulu memang tak pernah berubah, sama seperti si bodoh itu yang rela
kepanasan dan basah oleh keringat. Ah, tapi siswi sekolah ini juga masih belum
berubah. Aku masih bisa lihat anak-anak perempuan sesekali berteriak seru
menonton permainan basket dari lantai dua. Mereka sampai menunjuk-menunjuk ke
tengah lapangan pula. Apa mereka nggak sadar kalau yang main di tengah lapangan
mungkin saja sadar kalau diperhatikan? Mungkin ini juga sebuah kutukan atau
mungkin penyakit bodoh yang turun temurun. Hehehee
Aku
masih ingat dulu sewaktu Arya melarangku untuk ikutan nonton dari lantai dua.
Katanya, “Besok-besok jangan liat basket dari lantai dua sambil nunjuk-nunjuk
gitu ya. Nanti yang lain ikutan GR. Kan kamu liatinnya aku doang bukan yang
lain.” Cih, orang yang satu itu benar-benar bodoh dan narsis pula. Kalau
kata-katanya seperti itu bukannya dia yang GR. Heran, aku.
“Lho, Rasti kok masih di sini?” Aku menengok
dan ternyata pak Dias berdiri di sampingku.
“Oh Pak, saya sedang menunggu orang itu.” Aku
menunjuk ke arahnya yang sedang asyik bermain di tengah lapangan.
“Wah, masih semangat saja dia main basket.
Kamu juga masih setia saja menunggunya selesai main. Ahahahaa.. kalian ini
memang pasangan yang selalu punya kejutan ya?” Pak Dias malah jadi ikutan duduk
di sampingku.
“Yah, maaf deh, Pak, kalau ini juga mengenai
kebodohan kami berdua dulu. Saya juga nggak nyangka kalo bakal kayak gitu
jadinya, Pak. Tapi, saya jadi sadar kalau orang itu ternyata memang tulus suka
sama saya, Pak.” Aku hanya mampu tersenyum malu.
“Ahahaa... iya, memang sih bikin heboh satu
sekolah juga waktu itu. Waktu Arya tiba-tiba datang ke arahku dan hampir saja
pukulannya mengenai wajahku. Untung itu bukan di ruang guru.”
“Tapi kan masih di wilayah sekolah, Pak.
Masih di parkiran. Huuftt..” Aku hanya mampu menghela nafas mengingat kejadian
itu.
“Yah, tapi masih untung juga nggak
diperpanjang kan masalahnya dan dia masih bisa sekolah di sini sampai lulus.
Sayang kalau siswa berprestasi seperti dia sampai dikeluarkan. Aku juga sudah
dengar masa kuliahnya juga singkat dan nilainya bagus.”
“Yah memang untung cuma diskors seminggu,
ternyata juga nggak menimbulkan masalah dengan belajarnya. Tapi, ada untungnya
juga Pak dia diskors, waktu itu dia bilang jadi hafal susunan buku di perpus
sekolah. Selama diskors, dia masih datang ke sekolah dan selalu di perpus. Yah,
walaupun lebih sering numpang tidur. Ahahaa...”
“Iya-ya. Dia memang anak cerdas dan juga
nekat. Nyaris memukul dan langsung memaki guru dengan kata-kata kasar. Tapi,
semua dia lakukan hanya untuk membela orang yang sangat dia sukai kan, Ras?
Pasti kamu bahagia sekali saat itu. Benar-benar pasangan yang penuh kejutan.”
“Yah, waktu itu antara senang dan juga malu
rasanya. Itu semua juga seharusnya menjadi tanggung jawab saya. Dia mengira
saya menangis gara-gara pak Dias. Ternyata, dia lihat waktu saya bicara dengan
Pak Dias dan menangis saat itu. Setelah itu, saya bertengkar dengannya di
kelas, dia menunggu saya di sana. Menanyakan dengan kasar apa yang saya
bicarakan dengan bapak dan juga kenapa saya menangis. Dia itu...”
“Cemburu.” Pak Dias memotong kata-kataku.
“Eh?” Aku langsung menengok ke arah Pak Dias
dengan wajah yang memerah.
“Ya. Dia waktu itu cemburu kan? Dia mengira
kamu bilang suka dan aku menolakmu. Dia bilang seperti itu saat kami bicara
berdua saja setelahnya. Kalian benar-benar pasangan yang bikin repot saat itu.”
“Ah
iya Pak Dias benar. Tapi, terima kasih untuk waktu itu ya, Pak. Juga, mohon
bantuannya sebagai rekan kerja untuk selanjutnya. Hehehe...” Kami berdua
tersenyum dan tertawa bersama di sana mengingat tentang kejadian saat aku
menjadi anak SMA. Ya, aku bukan anak SMA lagi.
Aku jadi teringat dengan perasaan senang,
takut, dan malu yang bercampuk aduk saat itu. Meminta maaf sambil menangis di
depan para guru hanya untuk membela si bodoh satu itu. Setelahnya, aku heran
dengan diriku sendiri yang masih bertenaga untuk memakinya dengan segala
kebodohannya itu. Kami sempat tidak saling bicara setelah kejadian itu.
Benar-benar perang dingin .
Ternyata,
saat itu memang masih anak SMA yang bingung saat sadar sudah menyukai teman
sendiri. Beberapa hari setelahnya aku mendatanginya di perpustakaan sekolah.
Aku melihatnya tertidur di sana, rasanya nggak rela harus bangunin dia saat
itu. Jarang-jarang kan lihat dia diam kayak gitu, jadi sedikit lebih manis
lihatnya. Hehehee...Yah, saat itu kami baikan dan hubungan kami terus membaik
hingga saat ini.
“Pak Dias. Selamat siang, Pak.” Mereka saling
menjabat tangan.
“Siang, Arya. Wah, sekarang rasanya sudah
jauh lebih dewasa ya, nggak nyangka dulu saya sempat jadi guru kalian. Berasa tua
saya sekarang.” Pak Dias memandang kami bergantian.
“Mas, sudah selesai mainnya kan?” Aku ikutan
berdiri dan menyodorkan jaketnya.
“Wah, sekarang manggilnya mas ya? Kemajuan
dan kejutan lagi.” Wajahku lagi-lagi memerah dengan perkataan Pak Dias ini.
“Ah, Pak Dias nih. Kan sekarang dia sudah
resmi jadi milikku seorang, Pak. Masa iya, manggilnya masih ‘Arya, Ya, Arya’.
Kemajuan sedikit dong, Pak.”
“Ahahaha...”
Dua laki-laki itu sekarang bisa tertawa bersama. Aku senang.
Aku
memang bukan lagi anak SMA. Sekarang aku adalah seorang guru di sekolah ini.
Aku mungkin masih menjadi fans dari pak Dias, tapi aku juga sudah menjadi rekan
kerjanya. Aku juga bukan lagi berstatus pacar bagi Arya, tapi sudah menajdi
istri dari mas Arya. Kalau orang lain mungkin akan berhenti bekerja karena
menikah, sedangkan aku malah sebaliknya. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan ini
setelah menikah. Aneh memang cara hidupku berjalan. Sama anehnya dengan cara
Tuhan untuk mendekatkan kami sekarang. Berawal dari teman, sahabat, pertengkaran,
rasa suka, marah, malu, bimbang, hingga cinta. Ah, benar-benar berawal sejak
aku masih jadi anak SMA.
“Ah,
Ras. Jadi berasa nostalgia ya?”
“Dasar tua!!!” Aku mempercepat langkahku
mendahului Mas Arya berjalan di depanku untuk menuju tempat parkir.
“Heeiiii... Kita kan tuanya sama-sama. Tapi,
beneran lho ini kayaknya baru kemaren aku pulang sekolah bareng-bareng sama
kamu. Main basket sambil kamu tungguin. Pak Dias juga nggak banyak berubah kan?
Wah, bener-bener sudah berapa tahun ya kita nggak pulang bareng kayak gini dari
sekolah?”
“Mas, mas ke sini naik apa? Jangan bilang...”
Aku berhenti melangkah dan membalikkan tubuhku. Aku menatapnya lekat-lekat.
“Naik motor lahh... ini kan nostalgia...” Dia
benar-benar mengucapkannya dengan enteng.
“Mas, hari ini kan aku pake rok selutut. Mas
ini gimana sih. Kan nanti susah boncengnya. Aahhh....” Aku mulai merengek.
“Ah, dulu juga kan seragammu rok pendek
selutut dan nggak masalah kan?” Benar-benar deh, santai banget jawabnya.
“Aku kan bukan anak SMA lagi, Mas.”
“Ah,
gimana kalau habis ini kita makan di tempat bakso yang dulu biasa kita datengin
kalau pulang telat. Sekalian ngerayain hari pertama kamu kerja. Kan aku juga
cuti buat ini. Ayo, aku juga udah lapar.” Huufftt... Fixed, aku dicuekin lagi.
Ternyata,
memang sudah bukan anak SMA lagi ya. Tapi, beruntungnya aku masih tetap saling
menyukai dengan orang sama saat SMA. Cincin senada yang kami kenakan di jari
manis kami sejak tiga bulan lalu bisa jadi bukti dan saksinya. Memang tak
banyak yang berubah dari cara kami saling menyayangi, tapi kami berubah dengan
cara kami menjalani hubungan ini. Semua hal yang pernah kami jalani berdua
sejak SMA, memang telah menjadi kenangan. Aku bahagia hari ini bisa sedikit
mengingat kebahagiaan dan keceriaan di masa SMA-ku. Ah ternyata, memang sayang
ya aku bukan anak SMA lagi. Heheheee...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar