Laman

Kamis, 03 Juli 2014

Cerpen : Akhir dan Awal

Hmmm... Aroma makanan yang menyeruak ini, benar-benar membuat aku lapar. Padahal tumpukan kardus makanan sudah siap di bagian depan rumah, tapi sepertinya dapur yang sudah seperti dapur umum itu belum juga beristirahat. Di bagian luar rumah, orang-orang juga sudah mulai mondar-mandir menyiapkan kursi, meja, dan dekorasi untuk persiapan pesta. Hari ini akan ada pesta pernikahan di sini, di rumah ini. Bukan, ini bukan pesta pernikahanku kok. Ini rumah mempelai perempuan yang sedang bersiap-siap di dalam kamarnya. Tapi, rasanya aku yang jadi tidak sabar melihat hasilnya. Waahhh...
“Lho, Mbak Sandra kok masih di luar sini?” Salah seorang kerabat Nita, sang mempelai perempuan, menepuk pundakku. ”Nita sudah selesai didadaninnya lho, Mbak. Tadi katanya nyariin Mbak Sandra.”
“Oh iya, Bu. Sebentar lagi aku masuk kok, ini cuma masih bantuin nata-nata meja-meja ini.” Aku hanya dapat mengangguk-angguk saja dengan tangan penuh wadah makanan seperti ini.
Segera setelah aku memasuki ruangan untuk berlangsungnya akad nikah, Nita melambaikan tangannya. Hari ini memang dialah ratunya. Kebaya putih yang dikenakannya begitu anggun dengan riasan yang mempercantik wajahnya yang lugu. Sekarang aku percaya kata orang, kalau perempuan yang akan menikah itu jadi lebih cantik. Entahlah, mungkin itu memang aura perempuan yang akan menikah atau mungkin hanya kebahagiaan yang terpancarkan di wajahnya. Tapi, satu hal yang tampak sekarang adalah kecantikannya yang begitu anggun.
“Mbak, Mbak nggak mau ganti baju dulu. Tadi, katanya, rombongan mas Hanif sudah siap-siap berangkat lho.” Ah, iya. Aku masih memakai atasan kaos oblong. Masa iya, di pernikahan sahabatku aku pakai baju kayak gini terus. Tapi, lebih enak gini sih sebenarnya. Hehehee...
“Ah, sebentar lagi deh. Aku mau nemenin kamu di sini dulu. Kata Hanif, di hotel mereka nginap juga lagi ribet banget. Kalau udah mulai berangkat, dia bakal sms kok. Pas itu baru aku ganti tampilan deh, tapi nggak bakal ngalahin cantiknya kamu hari ini kok. Tenang aja.” Aku duduk di samping Nita dengan santainya. Memang lebih enak seperti ini ya.
“Yah, Mbak Sandra nih, emangnya nggak mau dandan dulu gitu? Ini kan nikahanku lho, Mbak.” Nita menyenggolku dengan manja.
“Iya-ya, siapa tahu kalau aku dandan ada yang kecantol sama aku juga ya? Iya deh, bentar. Aku masuk dulu ya, Nit.”
“Ah, dasar Mbak Sandra nih...” Senyumnya memang manis ya. Hehehee
Entah sebenarnya apa yang ada dalam diriku ini. Banyak adik kelas yang pada akhirnya bisa dengan manjanya dekat denganku, termasuk Nita itu. Ya, Nita itu adik kelasku sewaktu kuliah, dia lebih muda dua tahun dariku. Aku mengenalnya dari Hanif yang dengan semangat empat lima mengejarnya. Waktu itu rasanya benar-benar repot mengurusi hubungan mereka. Ah, memangnya aku ini siapa sih sampai harus ikut-ikutan masalah mereka, waktu itu aku berpikir seperti itu. Memang bukan siapa-siapa sih, aku hanya teman dekat Hanif, si mempelai laki-laki.
“San, Sandra. Sini... sini...” Seorang laki-laki melambaikan tangannya padaku dari seberang ruangan. Ternyata Erik, teman kerja Hanif. Aku hanya memberi tanda untuk menunggu sebentar.
“Apaan sih, Rik?” Aku berbisik saat sudah ada di sampingnya.
“Kamu di sini aja duduknya. Nemenin aku biar nggak keliatan sendiri-sendiri gitu.”
“Kamu ngomong kayak gitu, berasa aku sama kamu ada hubungan apa gitu.”
“Kalo sekarang sih emang belum ada. Tapi, nanti-nati juga pasti ada kok.”
“Omonganmu emang udah ngawur dari bawaan lahir ya, Rik?”
“Aku serius kok kalau yang ini, San. Serius, beneran serius aku. Kamu nggak percaya juga sama aku ya? Aku itu...”
“Ssttttt... akadnya udah mau mulai.” Aku menghentikan percakapan kami. Kalau nggak kayak gini, Erik pasti bakal makin maksa omongannya.
Ini memang baru pertama kalinya aku mengikuti prosesi akad nikah dengan cara Islam. Lantunan doa-doa mulai dibacakan. Aku lihat Hanif tegang, raut wajahnya jadi aneh. Anak itu memang dari dulu selalu kayak gini, nggak bisa menutupi rasa tegangnya di depan orang. Aku masih inget juga waktu dia banyak salah bicara saat presentasi di depan kelas umum. Aku pikir kebiasaannya itu sudah membaik, tapi sepertinya dia benar-benar tegang hingga efeknya jauh lebih parah sekarang. Ahahahaa... Rasanya aku hampir saja tertawa guling-guling di sini, kalau tidak ingat ini prosesi sakral sahabatku itu.
“Saya terima nikah.....”
Ah, akhirnya kalimat sakral itu dia ucapkan dengan mantap. Mendengar suaranya itu, hatiku tergetar, benar-benar tergetar. Tanpa sadar air mataku sempat menetes dan buru-buru aku hapus. Sahabatku kini sudah resmi bertanggung jawab atas wanita yang dia cintai sepenuh hati. Kalau mengingat segala perjuangannya dulu, aku merasa sangat lega dia sudah sampai di posisi ini. Selamat untuk melanjutkan perjalananmu yang baru ya, Hanif.
“Wah, yang sudah jadi ‘suami’. Pasti seneng nih.” Erik melangkah ke arah Hanif, setelah antrian para tamu yang ingin memberikan selamat selesai.
“Rasanya lega, Rik.” Hanif menghela nafasnya dan mengelus dadanya sendiri. “Eh, San kamu kenapa? Sandra!”
“Ah, enggak. Aku nggak papa kok.” Aku mencoba menghapus air mata yang lagi-lagi menetes.
“Mbak, jangan nangis gitu dong...” Nita yang berdiri di samping Hanif mulai terlihat khawatir.
“Ahhh... gara-gara kalian nih, nggak bisa berhenti air matanya... huhuu...”
“Ahahahaa...” Ah, akhirnya malah mereka ketawa bareng-bareng gini.
“Sini, sini.” Hanif membuka tangannya dan merangkulku, membawaku menangis dipundaknya. Aku memeluknya dan memuaskan tangisku.
Aku berbisik sesaat sebelum melepaskan pelukan terakhir untuk sahabatku ini, “Sekarang kamu sudah punya tanggung jawab yang harus kamu bawa hingga ke surga.” Aku melangkah mundur dan meninju ringan pundaknya, lalu berkata, “Biarlah aku nangis sekarang, tapi jangan pernah berani buat Nita nangis lho!!”
“Ahahaa... iya iya.” Hanif mengacak-ngacak rambutku kali ini.
“Nita, maaf ya, harusnya aku nggak nangis gini.” Aku memeluknya kali ini. Kemudian, berbisik, “Jangan pernah bosan sama si keras kepala ini ya!!” Nita hanya mengangguk menjawabku.
“Ah, sudah-sudah. Kok malah nangis-nangisan gini sih. Nggak seru ah.” Erik merangkul pundakku kali ini, mencoba menenangkanku.
“Ah, ini juga kan nangis haru, Rik, haru.” Aku mencoba membela diri.
“Iya, iya. Aku ngerti kok.” Erik membelai rambutku dan mengeratkan rangkulannya. Entahlah, kali ini aku tak melawannya.
Kehadiran Erik dalam hidupku bukannya tanpa arti, hanya saja mungkin aku sendiri yang belum mengijinkannya masuk lebih dalam. Dia memang orang baik, sama seperti yang dikatakan Hanif saat memperkenalkannya. Tapi, dalam kamusku, baik saja tidak cukup. Entahlah, mungkin waktunya saja belum tepat atau mungkin aku saja yang belum mau membuka hatiku. Sampai saat ini, aku hanya bisa menganggapnya sebagai teman dekat, tidak lebih.
“Semalam, Hanif cerita banyak hal.” Sambil membawa cemilan di tangannya, Erik duduk disampingku saat resepsi berlangsung siang harinya.
“Ha? Cerita apa?” Aku menengok heran ke arahnya dengan tatapan serius.
“Cerita tentang kalian. Tentang perkenalan kalian, tugas yang kalian kerjakan bersama, persahabatan kalian, kedekatan kalian, sampai bagaimana kamu mendukung hubungan mereka berdua. Dia sangat mencemaskan keadaanmu akan bagaimana jika dia telah menikah nanti. Kalian nggak akan bisa tiba-tiba pergi keluar berdua lagi kan hingga tengah malam.”
“Dia bicara hingga ke arah sana? Aku rasa dia nggak perlu mengkhawatirkanku sampai sebegitunya.”
“Kamu sama Hanif itu, dulu sama-sama nggak punya teman yang bisa diajak keluar-keluar kan, makanya kalian bisa sedekat ini. Saling berbagi keresahan dan rahasia. Buatku nggak heran kalau dia juga khawatir padamu. Yah, apalagi kamu juga belum sepenuhnya menerima kehadiranku kan, San?”
“Aku nggak bermaksud menjaga jarak sama kamu kok, Rik. Kamu itu orang baik dan aku sadar itu. Kamu orang yang direkomendasikan teman dekat yang sangat mengerti aku ini seperti apa. Aku sedang mencoba, tapi aku juga butuh waktu kan?”
“Untuk melupakan perasaan kalian berdua?”
“Maksudmu? Apa Hanif bercerita hingga tentang hal itu juga?” Aku menatap Erik dengan serius.
“Ya, dia bercerita tentang hubungan kalian. Rasa saling menyayangi yang bukan lagi antar teman. Kalian saling menyukai kan?”
“Itu cerita lama. Saat itu, dia hanya terlalu putus asa untuk mengejar Nita. Dia datang padaku, mengeluh dengan jengkel dan itu kacau sekali. Saat itu, dia bilang, ‘Kalau aku sukanya sama kamu, pasti lebih gampang ya, San.’ Dan dengan bodohnya, aku menjawab, ‘Kalau memang lebih baik begitu, kenapa nggak kita coba aja pacaran.’ Aku benar-benar merasa bodoh saat itu.”
“Lalu, kalian sempat pacaran beberapa bulan, kan?”
“Iya, tapi terus aku sadar, aku sendiri nggak cukup sabar buat nanggepin manjanya dia. Dia juga kadang jadi lebih suka marah-marah nanggepin egoku. Waktu itu malah jadi benar-benar kacau. Emang sih, nggak pernah lama kok kita marahan, soalnya sadar kalau emang saling butuh. Kita sama-sama merasakan kenyamanan yang nggak kita dapetin dari orang lain. Rasanya pingin bareng-bareng terus, kadang saling kangen. Berasanya manis banget ya waktu itu. Tapi, kita sadar kok hubungan kita itu nggak mungkin bertahan selamanya.”
“Gara-gara agama?”
“Gara-gara kepercayaan. Tuhanku dan Tuhan dia itu beda. Apa yang kami percaya itu beda. Nggak pernah ada jalan damai untuk kami. Hal ini sudah cukup untuk menyadarkan kami berdua saat itu. Aku dan Hanif bukan anak kecil lagi waktu itu, sudah bisa mikir yang lebih realistis soal hubungan kayak gitu.”
“Terus, kenapa kamu juga mau aja lepasin dia?”
“Aku mungkin lebih suka bilang kalau kami berdua sudah berusaha sebisa mungkin, tapi rasanya itu cuma kebohongan yang menghibur. Kami sama-sama menyerah dengan gampangnya kok sama ketentuan Tuhan. Aku sayang sama dia, sama seperti dia sayang sama aku. Tahu kenyataan itu saja sudah cukup menyenangkan.” Aku mengangguk-angguk sendiri, meyakinkan kata-kataku pada Erik.
“Makanya, waktu tahu aku seagama sama kamu, dia jadi semangat ngenalin kamu ya? Jadi itu sebabnya. Aku dulu penasaran banget, perempuan kayak apa kamu itu, sampai si Hanif sebegitu sayangnya sama kamu. Sekarang aku tahu kok, kenapa Hanif bisa seperti itu. Aku cukup tahu perasaannya.”
“Gombalanmu nggak bakal mempan ya.” Aku menunjuk wajahnya, memperingatkan.
“Bukan gombal kok.” Erik menurunkan tanganku dan menggenggamnya. “Kamu itu memang dari luar kelihatan judes dan keras kepala, tapi kamu juga orang baik, San. Kamu orang yang bisa diandalkan, bukan orang sembarangan bisa kita temuin sehari-hari. Kamu itu perempuan keras yang siap jadi support kokoh, tapi juga nggak melupakan kelembutanmu yang seperti kakak itu. Kamu itu tetap seorang perempuan, San.” Aku menundukkan wajahku, menutupi mataku yang berkaca-kaca. Erik mengencangkan genggaman tangannya dan air mataku sempat menetes.
Setelah sejenak menenangkan diri, aku menegakkan kepalaku dan melepaskan genggaman tangan Erik. Saat itu, aku sadar, mungkin aku telah menemukan seseorang yang baru. Seseorang mungkin saja mau mengenalkanku dengan baik. Mau mendengarkan segala keluh kesahku lebih dari Hanif. Seseorang yang mungkin saja telah memperhatikanku selama ini. Tapi, rasanya aku telah berbuat jahat. Tanpa memperhatikan ketulusannya ini, aku malah sibuk dengan duniaku sendiri, memikirkan diri sendiri, dan menganggap dirikulah yang paling menderita.
“Mungkin ini bukan waktu yang tepat buat kita ngomongin ini. Tapi, Rik, kalau waktu aku balik nanti dan perasaanmu masih sama, aku mungkin bakal lebih mudah menerimanya.” Aku akan coba buat menyukaimu, Rik. Aku harap aku bisa melakukan ini semua untuk menyambut perasaanmu.
“Balik? Kamu mau kemana?” Kali ini Erik yang menatapku heran.
“Kamu yang pertama tahu selain keluargaku. Bulan depan, aku bakal pergi ke Jepang ngambil pendidikan S2-ku. Aku dapat beasiswa ke sana. Mungkin bakal balik dua sampe tiga tahun lagi.”
“Dua, tiga tahun, kan? Aku bakal nunggu. Bakal nungguin kamu, San. Aku janji.” Ah, dasar Erik, ngomongin hal serius macam ini malah pasang wajah serius khas anak kecil sambil ngangkat dua jarinya kayak gini.
“Iya, iya. Aku tahu kok.” Kali ini aku yang menurunkan tangannya dan menggenggamnya. Aku rasa aku memang sudah menemukannya.
“Ah, kita foto sama mereka yuk. Udah kosong tuh.” Tiba-tiba, Erik menunjuk ke arah mempelai dan menarikku berdiri. Dia menggandeng tanganku dan menuntunku ke atas panggung.
“Wah, sekarang sudah pake gandengan segala!” Hanif heboh dari atas panggung sambil nunjuk-nunjuk kami berdua.
“Iyalah, kemajuan ini namanya. Masa iya, udah dua tahun lho ini, dua tahun. Ahahahaa...” Dasar Erik kok malah bangga gitu sih.
“Ah, aku mau di sebelah Hanif aja.” Aku melepas tangan Erik dan berlari merangkul lengan Hanif. Lalu, berbisik, “Nanti aku juga bakal ada di posisi kalian berdua kok, tenang aja. Aku sayang kalian.” Hanif sempat menengok dan hanya aku jawab dengan tersenyum, senyuman termanisku untuknya.
“Yak, cheerrsss.....!”

Hari ini aku bahagia, aku seneng banget. Akhir dari kisah lama dan awal yang baru telah kami buka. Hari pernikahan sahabatku, hari dimana aku melepaskan rasa cintaku yang terpendam, hari dimana aku menyadari keberadaan cinta yang lain untukku, dan hari dimana aku bertekad untuk menerima orang baik ini beserta cintanya untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar