Hmmm... Aroma makanan yang
menyeruak ini, benar-benar membuat aku lapar. Padahal tumpukan kardus makanan
sudah siap di bagian depan rumah, tapi sepertinya dapur yang sudah seperti
dapur umum itu belum juga beristirahat. Di bagian luar rumah, orang-orang juga
sudah mulai mondar-mandir menyiapkan kursi, meja, dan dekorasi untuk persiapan
pesta. Hari ini akan ada pesta pernikahan di sini, di rumah ini. Bukan, ini
bukan pesta pernikahanku kok. Ini rumah mempelai perempuan yang sedang
bersiap-siap di dalam kamarnya. Tapi, rasanya aku yang jadi tidak sabar melihat
hasilnya. Waahhh...
“Lho, Mbak Sandra kok masih
di luar sini?” Salah seorang kerabat Nita, sang mempelai perempuan, menepuk
pundakku. ”Nita sudah selesai didadaninnya lho, Mbak. Tadi katanya nyariin Mbak
Sandra.”
“Oh iya, Bu. Sebentar lagi
aku masuk kok, ini cuma masih bantuin nata-nata meja-meja ini.” Aku hanya dapat
mengangguk-angguk saja dengan tangan penuh wadah makanan seperti ini.
Segera setelah aku memasuki
ruangan untuk berlangsungnya akad nikah, Nita melambaikan tangannya. Hari ini
memang dialah ratunya. Kebaya putih yang dikenakannya begitu anggun dengan
riasan yang mempercantik wajahnya yang lugu. Sekarang aku percaya kata orang,
kalau perempuan yang akan menikah itu jadi lebih cantik. Entahlah, mungkin itu
memang aura perempuan yang akan menikah atau mungkin hanya kebahagiaan yang
terpancarkan di wajahnya. Tapi, satu hal yang tampak sekarang adalah
kecantikannya yang begitu anggun.
“Mbak, Mbak nggak mau ganti
baju dulu. Tadi, katanya, rombongan mas Hanif sudah siap-siap berangkat lho.”
Ah, iya. Aku masih memakai atasan kaos oblong. Masa iya, di pernikahan
sahabatku aku pakai baju kayak gini terus. Tapi, lebih enak gini sih
sebenarnya. Hehehee...
“Ah, sebentar lagi deh. Aku
mau nemenin kamu di sini dulu. Kata Hanif, di hotel mereka nginap juga lagi
ribet banget. Kalau udah mulai berangkat, dia bakal sms kok. Pas itu baru aku
ganti tampilan deh, tapi nggak bakal ngalahin cantiknya kamu hari ini kok.
Tenang aja.” Aku duduk di samping Nita dengan santainya. Memang lebih enak
seperti ini ya.
“Yah, Mbak Sandra nih,
emangnya nggak mau dandan dulu gitu? Ini kan nikahanku lho, Mbak.” Nita
menyenggolku dengan manja.
“Iya-ya, siapa tahu kalau
aku dandan ada yang kecantol sama aku juga ya? Iya deh, bentar. Aku masuk dulu
ya, Nit.”
“Ah, dasar Mbak Sandra
nih...” Senyumnya memang manis ya. Hehehee
Entah sebenarnya apa yang
ada dalam diriku ini. Banyak adik kelas yang pada akhirnya bisa dengan manjanya
dekat denganku, termasuk Nita itu. Ya, Nita itu adik kelasku sewaktu kuliah,
dia lebih muda dua tahun dariku. Aku mengenalnya dari Hanif yang dengan
semangat empat lima mengejarnya. Waktu itu rasanya benar-benar repot mengurusi
hubungan mereka. Ah, memangnya aku ini siapa sih sampai harus ikut-ikutan
masalah mereka, waktu itu aku berpikir seperti itu. Memang bukan siapa-siapa
sih, aku hanya teman dekat Hanif, si mempelai laki-laki.
“San, Sandra. Sini...
sini...” Seorang laki-laki melambaikan tangannya padaku dari seberang ruangan.
Ternyata Erik, teman kerja Hanif. Aku hanya memberi tanda untuk menunggu
sebentar.
“Apaan sih, Rik?” Aku
berbisik saat sudah ada di sampingnya.
“Kamu di sini aja duduknya.
Nemenin aku biar nggak keliatan sendiri-sendiri gitu.”
“Kamu ngomong kayak gitu,
berasa aku sama kamu ada hubungan apa gitu.”
“Kalo sekarang sih emang
belum ada. Tapi, nanti-nati juga pasti ada kok.”
“Omonganmu emang udah ngawur
dari bawaan lahir ya, Rik?”
“Aku serius kok kalau yang
ini, San. Serius, beneran serius aku. Kamu nggak percaya juga sama aku ya? Aku
itu...”
“Ssttttt... akadnya udah mau
mulai.” Aku menghentikan percakapan kami. Kalau nggak kayak gini, Erik pasti
bakal makin maksa omongannya.
Ini memang baru pertama
kalinya aku mengikuti prosesi akad nikah dengan cara Islam. Lantunan doa-doa
mulai dibacakan. Aku lihat Hanif tegang, raut wajahnya jadi aneh. Anak itu memang
dari dulu selalu kayak gini, nggak bisa menutupi rasa tegangnya di depan orang.
Aku masih inget juga waktu dia banyak salah bicara saat presentasi di depan
kelas umum. Aku pikir kebiasaannya itu sudah membaik, tapi sepertinya dia
benar-benar tegang hingga efeknya jauh lebih parah sekarang. Ahahahaa...
Rasanya aku hampir saja tertawa guling-guling di sini, kalau tidak ingat ini
prosesi sakral sahabatku itu.
“Saya terima nikah.....”
Ah, akhirnya kalimat sakral
itu dia ucapkan dengan mantap. Mendengar suaranya itu, hatiku tergetar, benar-benar
tergetar. Tanpa sadar air mataku sempat menetes dan buru-buru aku hapus.
Sahabatku kini sudah resmi bertanggung jawab atas wanita yang dia cintai
sepenuh hati. Kalau mengingat segala perjuangannya dulu, aku merasa sangat lega
dia sudah sampai di posisi ini. Selamat untuk melanjutkan perjalananmu yang
baru ya, Hanif.
“Wah, yang sudah jadi
‘suami’. Pasti seneng nih.” Erik melangkah ke arah Hanif, setelah antrian para
tamu yang ingin memberikan selamat selesai.
“Rasanya lega, Rik.” Hanif
menghela nafasnya dan mengelus dadanya sendiri. “Eh, San kamu kenapa? Sandra!”
“Ah, enggak. Aku nggak papa
kok.” Aku mencoba menghapus air mata yang lagi-lagi menetes.
“Mbak, jangan nangis gitu
dong...” Nita yang berdiri di samping Hanif mulai terlihat khawatir.
“Ahhh... gara-gara kalian
nih, nggak bisa berhenti air matanya... huhuu...”
“Ahahahaa...” Ah, akhirnya
malah mereka ketawa bareng-bareng gini.
“Sini, sini.” Hanif membuka tangannya
dan merangkulku, membawaku menangis dipundaknya. Aku memeluknya dan memuaskan
tangisku.
Aku berbisik sesaat sebelum
melepaskan pelukan terakhir untuk sahabatku ini, “Sekarang kamu sudah punya tanggung
jawab yang harus kamu bawa hingga ke surga.” Aku melangkah mundur dan meninju
ringan pundaknya, lalu berkata, “Biarlah aku nangis sekarang, tapi jangan
pernah berani buat Nita nangis lho!!”
“Ahahaa... iya iya.” Hanif
mengacak-ngacak rambutku kali ini.
“Nita, maaf ya, harusnya aku
nggak nangis gini.” Aku memeluknya kali ini. Kemudian, berbisik, “Jangan pernah
bosan sama si keras kepala ini ya!!” Nita hanya mengangguk menjawabku.
“Ah, sudah-sudah. Kok malah
nangis-nangisan gini sih. Nggak seru ah.” Erik merangkul pundakku kali ini,
mencoba menenangkanku.
“Ah, ini juga kan nangis
haru, Rik, haru.” Aku mencoba membela diri.
“Iya, iya. Aku ngerti kok.”
Erik membelai rambutku dan mengeratkan rangkulannya. Entahlah, kali ini aku tak
melawannya.
Kehadiran Erik dalam hidupku
bukannya tanpa arti, hanya saja mungkin aku sendiri yang belum mengijinkannya
masuk lebih dalam. Dia memang orang baik, sama seperti yang dikatakan Hanif
saat memperkenalkannya. Tapi, dalam kamusku, baik saja tidak cukup. Entahlah,
mungkin waktunya saja belum tepat atau mungkin aku saja yang belum mau membuka
hatiku. Sampai saat ini, aku hanya bisa menganggapnya sebagai teman dekat,
tidak lebih.
“Semalam, Hanif cerita
banyak hal.” Sambil membawa cemilan di tangannya, Erik duduk disampingku saat
resepsi berlangsung siang harinya.
“Ha? Cerita apa?” Aku
menengok heran ke arahnya dengan tatapan serius.
“Cerita tentang kalian.
Tentang perkenalan kalian, tugas yang kalian kerjakan bersama, persahabatan
kalian, kedekatan kalian, sampai bagaimana kamu mendukung hubungan mereka
berdua. Dia sangat mencemaskan keadaanmu akan bagaimana jika dia telah menikah
nanti. Kalian nggak akan bisa tiba-tiba pergi keluar berdua lagi kan hingga
tengah malam.”
“Dia bicara hingga ke arah
sana? Aku rasa dia nggak perlu mengkhawatirkanku sampai sebegitunya.”
“Kamu sama Hanif itu, dulu
sama-sama nggak punya teman yang bisa diajak keluar-keluar kan, makanya kalian
bisa sedekat ini. Saling berbagi keresahan dan rahasia. Buatku nggak heran
kalau dia juga khawatir padamu. Yah, apalagi kamu juga belum sepenuhnya
menerima kehadiranku kan, San?”
“Aku nggak bermaksud menjaga
jarak sama kamu kok, Rik. Kamu itu orang baik dan aku sadar itu. Kamu orang
yang direkomendasikan teman dekat yang sangat mengerti aku ini seperti apa. Aku
sedang mencoba, tapi aku juga butuh waktu kan?”
“Untuk melupakan perasaan
kalian berdua?”
“Maksudmu? Apa Hanif
bercerita hingga tentang hal itu juga?” Aku menatap Erik dengan serius.
“Ya, dia bercerita tentang
hubungan kalian. Rasa saling menyayangi yang bukan lagi antar teman. Kalian
saling menyukai kan?”
“Itu cerita lama. Saat itu,
dia hanya terlalu putus asa untuk mengejar Nita. Dia datang padaku, mengeluh
dengan jengkel dan itu kacau sekali. Saat itu, dia bilang, ‘Kalau aku sukanya
sama kamu, pasti lebih gampang ya, San.’ Dan dengan bodohnya, aku menjawab, ‘Kalau
memang lebih baik begitu, kenapa nggak kita coba aja pacaran.’ Aku benar-benar
merasa bodoh saat itu.”
“Lalu, kalian sempat pacaran
beberapa bulan, kan?”
“Iya, tapi terus aku sadar,
aku sendiri nggak cukup sabar buat nanggepin manjanya dia. Dia juga kadang jadi
lebih suka marah-marah nanggepin egoku. Waktu itu malah jadi benar-benar kacau.
Emang sih, nggak pernah lama kok kita marahan, soalnya sadar kalau emang saling
butuh. Kita sama-sama merasakan kenyamanan yang nggak kita dapetin dari orang
lain. Rasanya pingin bareng-bareng terus, kadang saling kangen. Berasanya manis
banget ya waktu itu. Tapi, kita sadar kok hubungan kita itu nggak mungkin
bertahan selamanya.”
“Gara-gara agama?”
“Gara-gara kepercayaan. Tuhanku
dan Tuhan dia itu beda. Apa yang kami percaya itu beda. Nggak pernah ada jalan
damai untuk kami. Hal ini sudah cukup untuk menyadarkan kami berdua saat itu.
Aku dan Hanif bukan anak kecil lagi waktu itu, sudah bisa mikir yang lebih
realistis soal hubungan kayak gitu.”
“Terus, kenapa kamu juga mau
aja lepasin dia?”
“Aku mungkin lebih suka
bilang kalau kami berdua sudah berusaha sebisa mungkin, tapi rasanya itu cuma
kebohongan yang menghibur. Kami sama-sama menyerah dengan gampangnya kok sama
ketentuan Tuhan. Aku sayang sama dia, sama seperti dia sayang sama aku. Tahu
kenyataan itu saja sudah cukup menyenangkan.” Aku mengangguk-angguk sendiri,
meyakinkan kata-kataku pada Erik.
“Makanya, waktu tahu aku
seagama sama kamu, dia jadi semangat ngenalin kamu ya? Jadi itu sebabnya. Aku
dulu penasaran banget, perempuan kayak apa kamu itu, sampai si Hanif sebegitu
sayangnya sama kamu. Sekarang aku tahu kok, kenapa Hanif bisa seperti itu. Aku
cukup tahu perasaannya.”
“Gombalanmu nggak bakal
mempan ya.” Aku menunjuk wajahnya, memperingatkan.
“Bukan gombal kok.” Erik
menurunkan tanganku dan menggenggamnya. “Kamu itu memang dari luar kelihatan
judes dan keras kepala, tapi kamu juga orang baik, San. Kamu orang yang bisa
diandalkan, bukan orang sembarangan bisa kita temuin sehari-hari. Kamu itu
perempuan keras yang siap jadi support
kokoh, tapi juga nggak melupakan kelembutanmu yang seperti kakak itu. Kamu itu
tetap seorang perempuan, San.” Aku menundukkan wajahku, menutupi mataku yang
berkaca-kaca. Erik mengencangkan genggaman tangannya dan air mataku sempat menetes.
Setelah sejenak menenangkan
diri, aku menegakkan kepalaku dan melepaskan genggaman tangan Erik. Saat itu,
aku sadar, mungkin aku telah menemukan seseorang yang baru. Seseorang mungkin
saja mau mengenalkanku dengan baik. Mau mendengarkan segala keluh kesahku lebih
dari Hanif. Seseorang yang mungkin saja telah memperhatikanku selama ini. Tapi,
rasanya aku telah berbuat jahat. Tanpa memperhatikan ketulusannya ini, aku
malah sibuk dengan duniaku sendiri, memikirkan diri sendiri, dan menganggap
dirikulah yang paling menderita.
“Mungkin ini bukan waktu
yang tepat buat kita ngomongin ini. Tapi, Rik, kalau waktu aku balik nanti dan perasaanmu
masih sama, aku mungkin bakal lebih mudah menerimanya.” Aku akan coba buat
menyukaimu, Rik. Aku harap aku bisa melakukan ini semua untuk menyambut
perasaanmu.
“Balik? Kamu mau kemana?”
Kali ini Erik yang menatapku heran.
“Kamu yang pertama tahu
selain keluargaku. Bulan depan, aku bakal pergi ke Jepang ngambil pendidikan
S2-ku. Aku dapat beasiswa ke sana. Mungkin bakal balik dua sampe tiga tahun
lagi.”
“Dua, tiga tahun, kan? Aku
bakal nunggu. Bakal nungguin kamu, San. Aku janji.” Ah, dasar Erik, ngomongin
hal serius macam ini malah pasang wajah serius khas anak kecil sambil ngangkat
dua jarinya kayak gini.
“Iya, iya. Aku tahu kok.”
Kali ini aku yang menurunkan tangannya dan menggenggamnya. Aku rasa aku memang
sudah menemukannya.
“Ah, kita foto sama mereka
yuk. Udah kosong tuh.” Tiba-tiba, Erik menunjuk ke arah mempelai dan menarikku
berdiri. Dia menggandeng tanganku dan menuntunku ke atas panggung.
“Wah, sekarang sudah pake
gandengan segala!” Hanif heboh dari atas panggung sambil nunjuk-nunjuk kami
berdua.
“Iyalah, kemajuan ini
namanya. Masa iya, udah dua tahun lho ini, dua tahun. Ahahahaa...” Dasar Erik
kok malah bangga gitu sih.
“Ah, aku mau di sebelah
Hanif aja.” Aku melepas tangan Erik dan berlari merangkul lengan Hanif. Lalu,
berbisik, “Nanti aku juga bakal ada di posisi kalian berdua kok, tenang aja.
Aku sayang kalian.” Hanif sempat menengok dan hanya aku jawab dengan tersenyum,
senyuman termanisku untuknya.
“Yak, cheerrsss.....!”
Hari ini aku bahagia, aku
seneng banget. Akhir dari kisah lama dan awal yang baru telah kami buka. Hari
pernikahan sahabatku, hari dimana aku melepaskan rasa cintaku yang terpendam,
hari dimana aku menyadari keberadaan cinta yang lain untukku, dan hari dimana
aku bertekad untuk menerima orang baik ini beserta cintanya untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar