Penantian
itu berat, tidak mudah dilewati, dan tidak mudah dihadapi. Sampai hari ini pun, aku tidak mengerti pada
jalan pikiranku yang terus melakukan satu hal gila itu. Penantian. Kadang kala
aku berkata pada diriku sendiri tentang keyakinanku pada penantian ini. Namun,
dalam hatiku sendiri, aku belum menemukan satu pun jawaban yang memuaskan
pikiranku itu. Hati dan pikiranku memang tak pernah kompak soal ini.
Bertentangan dan selalu saja bertentangan. Entah ada apa dengan diriku ini.
“Hera.
Mau ikut keluar nggak? Aku sama yang lainnya mau belanja bulanan nih. Atau mau
titip sesuatu mungkin?” Suara Eka, teman satu kost-kostanku, membuyarkan
pikiranku yang sedang fokus dengan tugas akhir yang sudah sejak tadi ada di hadapanku
ini.
“Enggak
ahh. Aku lagi ada tugas nih. Lagian Mas Revan bilang dia mau kirim email hari
ini. Ada kabar bagus katanya.”
“Mas
Revanmu itu mulu yang dijadiin alasan. Emang nggak capek ya nungguin tu orang
sampe tiga tahun kayak gini.” Sambil nutup pintu kamarku mulut Eka nggak
berhenti ngomel.
Ya,
memang sudah tiga tahun ini aku hanya berhubungan lewat internet dengan
kekasihku, Mas Revan. Entah apa yang merasukiku sampai-sampai aku mau
menantikan kehadirannya kembali yang entah kapan akan terjadi. Dia mungkin tipe
cowok jaman sekarang yang terlalu kaku, atau mungkin juga polos, tapi masalah
otak jangan ditanya. Karena asetnya yang satu itu, setelah lulus dari
universitas, yang sama dengan tempatku menimba ilmu sekarang, tiga tahun lalu
dia langsung mendapatkan penawaran pekerjaan dari perusahaan asing dan sekarang
bekerja di Jerman. Selain asetnya yang berharga tinggi itu, wajah yang kalem
dan senyumnya yang selalu membuat kerisauanku hilang, mungkin itu semua yang
membuatku tetap kukuh pada penantian ini.
Setelah
bosan dengan tugas akhir yang belum kunjung berakhir ini, aku mencoba membuka
email. Ada satu kiriman dari mas Revan yang masuk, cepat-cepat saja aku buka.
Saat membaca setiap kata-kata yang dia kirimkan, hatiku terasa sesak. Apakah
ini akhir dari penantianku atau mungkin ada sesuatu yang salah? Aku mulai
berharap hari yang dijanjikannya pada email yang satu ini cepat saja datang.
Namun, entah mengapa ada perasaan aneh yang menjalar dalam diriku ini. Darimana
datangnya, aku tidak tahu.
Seminggu
telah aku lewati dengan perasaan aneh yang terus menggelanyuti hatiku sejak
kubaca email kiriman mas Revan itu. Sekarang aku sedang berdiri menantikan kehadirannya
di bandara. Menantikan sosoknya segera ada di hadapanku memang terasa begitu
aneh, apalagi setelah tiga tahun tak
pernah menatap dirinya secara langsung. Aku takut kami akan menjadi dingin dan
canggung. Namun semua ketakutanku itu sirna sudah ketika ia keluar dari pintu
kedatangan, melambaikan tangan kepadaku, dan segera memelukku denga begitu
hangat. Dulu ia tidak pernah melakukan hal-hal macam pelukan hangat seperti ini
padaku, tiga tahun di Jerman ternyata telah memberi sedikit perubahan padanya.
“
Loh, ternyata gadisku sudah tambah dewasa dan tambah cantik ya? Rugi aku
meninggalkan kamu selama tiga tahun.”
“Ah,
mas ini. Tiga tahun kan bukan waktu yang sebentar untuk merubah penampilan.
Karena ditinggal Mas selama itu, aku jadi punya waktu lebih untuk dandan.”
“Oh
iya-ya. Kamu bener juga Dik. Pasti banyak yang mulai deketin kamu ya Dik. Tapi
belum ada yang menarik hatimu kan, Dik?” Ada sedikit nada khawatir pada
kata-katanya yang terakhir itu. Matanya pun memancarkan perasaan yang sama dan
terus menatapku penasaran.
“Aku
kan gadisnya Mas yang paling setia. Tenang aja Mas, belum ada yang seperti Mas kok.” Aku mencoba menenangkannya sambil
menggandengnya untuk mengajaknya segera melangkah ke tempat taxi-taxi yang
berjajar. Setelah dari bandara ini kami akan langsung menuju rumah keluarga Mas
Revan.
Di
perjalanan tidak banyak yang kami perbincangkan, hanya seputar pekerjaan mas
Revan ataupun kuliahku selama kami terpisahkan jarak selama tiga tahun. Hanya
saja sesekali dia menggenggam tanganku lebih erat dari biasanya. Aku mulai
menyadari bahwa dia merindukanku
melebihi kerinduan yang aku pendam
selama ini. Senyumnya memang tak pernah berubah, masih sama tenteramnya seperti
dulu. Namun, penampilannya saat ini jauh lebih menarik dari sebelum dia
meninggalkan negara ini, mungkin karena rambutnya yang lebih bergaya dan keren.
Apalagi cara berpakaiannya pun sudah tidak sekuno dulu lagi. Tak salah aku
memperbaiki penampilanku selama ini. Coba kalau aku masih tetap pada gayaku
yang cuek, pasti kebanting dengan gaya mas Revan yang sudah sekeren ini.
Sesampainya
di rumah keluarga besar mas Revan, semuanya sudah menunggu. Ibu, panggilanku
untuk ibu mas Revan, sudah mempersiapkan segala macam makanan khas Jogja untuk
anak laki-laki tertuanya ini. Ya, mas Revan adalah anak kedua dari tiga
bersaudara. Mbak Asti, kakak mas Revan, sudah menikah tiga tahun lalu sebelum
mas Revan berangkat ke Jerman dan Radit, si anak bungsu, satu tahun lebih muda
dariku dan merupakan adik angkatanku di kampus. Sedangkan bapak, yang langsung
berdiri dari duduknya untuk menyambut anak laki-laki kebanggaannya, masih
bekerja disebuah instansi pemerintahan di Jogja. Keluarga ini sungguh hangat.
Mereka mampu membuatku betah berada diantara mereka, walaupun aku adalah orang
luar saat ini. Bahkan selama mas Revan ada di Jerman aku tetap disambut hangat
oleh mereka, terutama ibu yang sudah kuanggap seperti mamaku yang harus
meninggalkanku ketika aku berumur enam belas tahun karena kanker yang
menyerangnya selama tiga tahun lebih.
Hidupku
memang terasa kembali bersemangat sejak kedatangan mas Revan, dapat
menyandarkan sedikit beban tugas akhir yang harus aku selesaikan secepatnya.
Paling tidak keceriaanku bertambah, walau kami hanya punya waktu selama
seminggu. Waktu yang terasa begitu singkat bagiku yang menanti selama tiga
tahun lamanya. Apalagi tidak hanya aku yang harus mas Revan temui. Masih banyak
sanak saudara dan sahabat-sahabatnya ,yang sama sepertiku, menginginkan bertemu
langsung dengannya. Sebisa mungkin aku mendampinginya jika aku tidak ada
kegiatan perkuliahan. Mas Revan memang tidak mau hubungan kami ini mengganggu
urusan kuliah dan karir kami masing-masing, komitmen yang masih terjaga
diantara kami. Dukunganlah yang paling penting dalam hubungan kami ini, hal
macam inilah yang kami terapkan dari awal.
“Dik.
Besok Mas harus sudah balik lagi ke tempat kerja. Maaf ya kalau Mas nggak bisa
nemenin lama-lama di sini. Masih ada tanggung jawab lain yang harus Mas
selesaikan. “ Mas Revan membuka pembicaraan saat kami tengah berjalan menyusuri
pantai di sore itu.
“Iya,
Mas. Aku tahu kok. Mas tenang aja. Aku ngerti.” Walau terasa agak berat
sebenarnya melepaskan Mas Revan yang baru beberapa hari ada bersamaku.
“Tapi
Mas janji, Dik. Mas akan pulang secepatnya.” Aku hanya mengangguk mengiyakan kata-katanya.
Entah apa yang kurasakan, tapi aku hanya mampu terdiam tanpa berkata apapun dan
hanya mengikuti jejak-jejak langkah kakinya. Aku merasa aneh sore ini, merasakan
ketidakrelaan yang besar untuk melepaskannya. Aku sendiri hanya mampu menghela
nafas berat untuk menenangkan diri dan mengeratkan genggaman tanganku pada
tangan mas revan yang terasa lebih hangat.
Jawaban dari
perasaan aneh sore itu terjawab sudah dengan kabar yang aku dengar sendiri dari
kata-kata Radit. Jawaban yang aku sendiri tidak pernah mau mendengarnya. Tidak
pernah mau mengetahui hal macam ini kalau aku bisa. Seketika memang semuanya
menjadi buram dan kemudian tubuhku lemas dengan gelap yang melingkupi saat itu
juga. Tak pernah menyangka semua ini akan terjadi padaku lagi dan yang aku tahu
ketika aku terbangun hanyalah air mata yang membanjiri hariku dengan kejamnya pada
hari ini. Karena, keesokan harinya air mataku telah habis untuk mengantarkannya
pada tempat tujuan terakhir.
Aku hanya
sanggup bersandar pada tubuh Eka, yang tanpa pernah terlihat lelah akibat
menemaniku sejak aku jatuh pingsan kemarin. Ya, hari ini aku menyaksikan
sendiri tubuh laki-laki yang aku sayangi dibaringkan di tempat peristirahatan
terkhirnya, setelah dengan perjuangan kerasnya melawan segala luka parah yang diderita
akibat kecelakaan sebelum ia berangkat ke bandara. Semuanya terasa begitu cepat
bagiku untuk merasakan kehilangan lagi dalam hidupku. Satu-satunya obat yang
sedikit mengurangi rasa sakitku hanya sebuah catatan kecil yang tertulis pada
buku catatan Mas Revan.
“Andaikan aku tidak bisa
membalas segala penantian terbaik yang ia berikan untukku Yaa Tuhan, biarkanlah
ia menemukan seseorang yang lebih baik dariku”
Tidak ada
yang lebih aku mengerti dalam tulisan itu, kecuali perasaanku yang dibalasnya
dengan sepenuh hati. Dan hal ini sudah cukup untuk membalas segala penantian
yang telah aku lakukan selama tiga tahun terakhir ini. Semoga jawaban dalam
hatiku ini sanggup mengantarkan mas Revan yang telah berangkat lebih dulu ke
surga.