Kebulatan tekad sudah aku tetapkan.
Aku sudah merelakannya, meninggalkan kenangan itu hanya sebagai masa lalu.
Aku memang begitu menginginkannya, tapi cukup sampai di sini saja.
Aku menyerah akan dirimu tak tergapai untukku sekarang.
Kau sendiri yang telah memutuskan arti diriku dalam hidupmu.
Kau juga telah menetapkan arti dirimu seharusnya dalam hidupku.
Aku tak mungkin menyangkal lagi karena aku memahami maksudmu, segala maksudmu.
Aku melangkah mundur perlahan dari ambisiku memilikimu.
Aku sudah puas dengan segala keputusan dan kebaikan hatimu.
Segalanya sudah cukup bagiku.
Tekadku sudah bulat untuk meninggalkan bayangmu sebagai masa lalu.
Aku tak mau lagi menitikkan air mata untukmu.
Kegembiraan dan kesedihan telah melebur menjadi satu di antara Kau dan Aku.
Pikiran sudah menjadi begitu kacaunya hingga tak mampu membedakannya lagi.
Aku dapat tersenyum sekaligus menitikkan air mata secara bersamaan.
Kepalsuan demi kepalsuan yang menutupi kebenaran yang ada.
Senyuman demi senyuman untuk menghargai sebuah tangisan.
Aku sudah pernah menjadi gila akan ambisiku.
Aku sudah pernah menjadi gila akan dirimu.
Dirimu memang lebih memabukkan dibanding sebotol arak.
Selesai sudah, aku ingin segera mengakhiri segalanya.
Segalanya yang kurasakan sudah cukup.
Berhenti, sudah menjadi keputusanku.
Aku sudah tak mau lagi berdiam diri hanya untuk menunggumu.
Aku sudah tak mau lagi peduli dengan segala tentangmu.
Aku sudah tak mau lagi berkejaran dengan waktu untuk tahu kabarmu.
Aku sudah tak mau lagi melawan harga diriku hanya untukmu.
Bahkan, aku tak mau lagi menghargai segala kebaikanmu.
karena sudah bertekad meninggalkan bayangmu di masa laluku.
karena segalanya sudah cukup kurasa.
Jumat, 19 September 2014
Curcol : Tekanan Sekitar
Curcol kali ini, aku tulis
bener-bener cuma buat curhat colongan aja. LHO?? Emangnya yang sebelumnya nggak
ya? Yahhh, gimana ya, kayaknya nggak perlu dibahas juga sih, coba beri
penilaian sendiri dehh... *biar tulisan sebelum-sebelumnya dibaca juga*.
Ahahahaa...
Niatnya nih, mau jadi
bahasan santai aja, tapi yang dibahas kayaknya lumayan berat deh. Apalagi untuk
orang kayak aku, makin berat daahh... #eh? Oke, lanjuutt...
Semuanya berawal dari sebuah
pertanyaan sederhana, “Ngapain mbak, kok mau lulus cepet-cepet?”. Dan dengan
santainya aku jawab,”Sudah ada yang nungguin.” Dengan suksesnya jawaban itu
menuju pertanyaan lain yang lebih makjleb-jleb, “Seriusan, Mbak? Mbak habis
lulus, mau langsung nikah?” #Jebret #Makjleb. Langsung lahh aku jawab, “Ya
nggak lahh, masih jauh. Masih nanti kalau itu.” Percakapannya memang selesai
sampai di situ, tapi pikirannya masih sampe sekarang. Ahahaha... *Cuma bisa menertawakan diri sendiri aja*
Jadi, sekarang sudah tahu
apa bahasan lumayan berat yang aku maksud? Ya, benar.Pernikahan. Jenis makanan
macam apalagi sih ini? #Jiaahh malah makanan lagi. Kayaknya kalau masalah
filosofi, artian, atau apapun itu tentang dasar-dasar pernikan, aku nggak bisa
terlalu banyak bahas deh. Lebih baik tanya langsung ke anak Psikologi semester
VII yang lagi ambil bahasan ini di kelasnya. *Niatnya mau mention temen yang
ada di sana*. Enaknya sih aku mau bahas
tekanan pernikahan di sekitarku aja. Mumpung masih jadi anak Teknik, kita bahas
tekanan aja kalau gitu. #eh? #lho?
Oke, tekanan pertama datang
dengan pernyataan, “Seumuran kamu gini kan memang masanya pada nikah kan?”
Nikah itu nggak bisa di general kayak gitu ya. Sesuai dengan kesiapannya
masing-masing juga kan. Kalau waktu itu dibahas, seperti apa siapnya, juga
setiap orang punya dasar kesiapannya masing-masing. Mungkin masih ada mimpi dan
cita-cita yang mau dicapai dulu, kayak aku. Hehehee... Atau jawaban bagus
dateng dari teman dekatku, “Kalau perempuan itu harus siap secara batinnya
lebih dalem lagi. Soalnya, kalau nanti udah jadi istri, dia harus mengutamakan
suaminya bahkan sebelum orang tuanya sendiri. Padahal suaminya mungkin baru
saja dia kenal, sedangkan orang tuanya sudah dia kenal sejak lahir.” Tumben lho
ini dia ngomong bener. Ckckckk.. *tepuk tangan*
Oiya, mungkin kalau bisa
dilihat atau dicari data usia rata-rata menikah. Kalau memang seumuranku,
berarti.... yasudahlah, nggak bisa bantah lagi.
Tekanan kedua, datengnya
lagi-lagi dari temen sendiri. Jenggg..jengg... Ada undangan nikahan dateng.
And, jeengg jengg... temen deket dari SMP udah mau nikah aja nihh. Rasa ikut seneng
dia udah nentuin pasangannya dan aku bisa datneg buat bantuin di hari
pernikahannya, apalagi ngikutin prosesnya. Pengalaman baru. Tapi, doa
pasangannya pas kita-kita mau pulang, “Iya. Makasih ya, udah dibantuin. Semoga
pada cepetan nyusul ya...” Alhasil langsung lirik-lirikan, terutama yang
calonnya aja belum punya, kayak aku. Jiiiaahhh...
Nggak cuma itu, minggu lalu
bahkan denger kabar, temen dari kecil yang TK-nya aja bareng, udah dilamar
orang. Seneng kok dengernya. Tapi, pertanyaan berikutnya dari sekitar, “Lha
kamu kapan?” Aahh, cuma bisa cengar-cengir aja... hehehe... Maaf ya Ma, anakmu
ini belum laku dan memang belum mau laku dulu. Hehhee...
Yang ketiga, virusnya sudah
mulai menyebar di media sosial. Entah ini kebetulan atau bagaimana. Ada beberapa
teman yang upload foto tentang pernikahan, dari mulai undangan sampe foto
nikahan keluarganya. Yang paling WOW, ya temen yang baru jadi pengantin baru.
Upload-nya foto-foto dia jalan-jalan sama suaminya, temanya sih honeymoon. Yang
ini nih tekanan bener-bener nyesek... hehehee...
Melihat dari tekanan demi
tekanan yang saya terima, semuanya merujuk pada satu pertanyaan di awal,
“Seumuran kamu gini kan memang masanya pada nikah kan?”. Mungkin bener juga sih. Soalnya temen-temen
seumuran memang satu per satu udah nikah atau perlahan-perlahan juga udah pada
ngomongin nikah. Ya kan ribet juga ngeliatnya, padahal belum ada pikiran ke
sana juga dalam waktu dekat ini. Ternyata, lingkungan memang mempengaruhi arah
jalan pikiran kita. *Tenang Pak, anakmu ini belum mau nikah dulu kok. Selow*
#mendadak_formal
Tekanan paling dahsyat sudah
pasti dateng dari keluarga sendiri. Gimana nggak coba, kalau kumpul keluarga
pertanyaan pertama yang dituju, “Sekarang pacarnya siapa?” Hikkss Hikss, cuma
bisa meringis nggak jelas sambil jawab, “Nggak ada kok, Tante.” Itu sih masih
mending, lebih makjleb lagi waktu ada keluarga yang nikahan terus ditanyain,
“Kamu kapan nyusul?” Cuma bisa meringis selebar mungkin.
Yah, kalau diinget-inget
dulu mungkin masih bisa ngelak dengan alasan masih ada yang lebih tua dan belum
nikah juga, masih bisa bilang masih kecil, atau mungkin masih sekolah. Sekarang
juga, alasan yang masih bisa buat diem cuma, “Masih kuliah, Tante. Biar selesai
dulu terus kerja.” Yang paling ditakutin tuh kalau nanti udah selesai kuliahnya
terus kerja, bakal jawab apalagi coba. Kalau memang belum mau nikah, memang
kenapa tho?? Mungkin, nantinya kalau aku jawab masih ada yang belum kesampaian
pun, tetap bakal dibantah juga. Habis itu, mulai siap-siap ketempelan status
nggak laku. Jjiiaahhh... makin ngaco nih omongannya. Yang pasti sih tekanannya
bakal makin besar juga ke depannya. Secara pengalaman yang aku lihat sih gitu.
Yoweslah, nikmati aja
hidupmu. Udah ada alurnya masing-masing kok. Tekanan demi tekanan juga bakal
kamu dapet terus. Toh, itu malah menandakan kalau kamu masih hidup juga. Kalau
ditanya, galau atau nggaknya. Mungkin iya, mungkin nggak. Soalnya memang belum
jadi prioritas hidup juga. Masih banyak yang harus diurus juga, biar selesai
semuanya dulu baru bisa melangkah ke arah selanjutnya. Biar ngerasain naik
tingkat dulu sebagai manusia, anak, cucu, calon engineer, perempuan, dan
sebagai hamba Allah tentunya. #serius_modeON
Kemudian, tidak terasa sudah
memasuki halaman ketiga, sedangkan tugas buat besok masih kosong melompong.
AAAAAA *teriak panik sambil lihat jam*. Tepat jam 00.00, berhenti sejenak terus
mikir, tapi.... Ahahahaa, nggak ngaruh kayaknya. Yaahh, berdoa saja untuk
segala yang terbaik dan masih bisa dikasih jalan untuk melihat jalan yang
terbaik pula. Dan satu hal lagi, doakan tugas saya juga dapat selesai pagi ini.
Amiieennn... hehehe Ciao. Cemungudh
terus ya...!!!
Minggu, 14 September 2014
Curcol: Secangkir Kopi
Ketika secangkir
kopi menghangatkanku di pagi hari ini.
Pagi
ini terbangun dengan perasaan ingin mati saja.
Seluruh badan rasanya tak ingin bergerak lebih. Sambil terkantuk-kantuk mencoba
berkomunikasi dengan Tuhan dan akhirnya tertidur kembali. Tak ada kata pulas
dalam tidurku malam ini. Terbangun beberapa kali dengan diselingi mimpi-mimpi
aneh, seperti berada di dunia yang berbeda. Teringat dengan kelas pengganti
yang seharusnya aku hadiri pagi ini, tapi tak aku hiraukan.
Menatap
jam meja di kamar kosku ini beberapa saat dan memutuskan membuka laptop. Tak
ada niat lain, selain mulai mengerjakan sebagian tugas kuliah di pagi ini.
Meninggalkan kelas bukan berarti aku tak mendapatkan apapun, kan? Tapi sayang
konsentrasiku buyar mengingat berbagai mimpi yang melintas malam ini. Secangkir
kopi dan menuliskan perasaanku pun menjadi pilihan pelarian di pagi ini. Hanya
sesaat kok, tugas-tugasku sudah siap mengejar.
White
Coffee menjadi penyegarku sejak setahun lalu aku tak sanggup
meminum kopi hitam lagi. Aromanya tentu saja berbeda, kalau boleh jujur aku
lebih suka aroma kopi hitam. Aroma
yang lebih mantap dan menyegarkan. Hal yang aneh mungkin, aku merasa kopi hitam
memiliki aroma yang lebih manis. Ah ya,
kadangkala aku merindukan kopi hitam yang selalu diminum kakekku dulu.
Berbicara
tentang merindukan, sepertinya aku memang masih merindukannya. Maaf untuk teman
dekatku, DWP, yang selalu
jadi pelampiasan pelarian diri. Ahahahaa... Terima Kasih banyak untuk waktunya.
Oiya, sepertinya aku juga masih kepikiran pertanyaan LS soal apakah aku ingin bertemu dengan orang itu.
Pembicaraan malam itu sepertinya berujung pada mimpiku tadi malam. Aku hanya bertemu dengannya dalam mimpi.
Ah,
sarapanku sudah jadi. Telur orak-arik dengan daun bawang,
seledri, irisan cabe, dan juga lelehan mentega di atas sepiring nasi hangat.
Tak perlu dibayangkan berlebih, ini enak kok. Itu saja sudah cukup atau mungkin
lebih dari cukup. Maaf ya, aku menulis ini memang sedang dalam keadaan sarapan.
Mamaku mungkin saja sewot kalau aku hanya minum secangkir kopi di
pagi hari. Makanya aku siapkan sepiring sarapan sebagai teman minum kopi untukku
sendiri. Maklum ya, nasib yang masih sendiri. Hehehee..
Kembali
pada persoalan mimpi. Sepertinya tidak semuanya bisa aku ceritakan, banyak yang
sifatnya pribadi. Lho??? Ahahaa... Sudahlah, abaikan, tak perlu dibahas
berlebih. Tapi, yang pasti aku alami, dari setiap aliran
mimpiku semalam selalu ada orang yang sama, selalu ada orang itu
menjagaku. Seperti aku benar-benar terlalu mengharapkannya. #NPKattyPerry_ThinkingofYou
Berawal
dari tempat yang sama sekali tak aku kenal dan udara malam yang aneh. Aku masuk di sebuah
bangunan dan berjalan di lorong remang-remang yang berbelok-belok dengan banyak
pintu
di sana. Banyak orang dengan penampilan yang tak biasa, seperti tanggapanku
pada penampilanku sendiri yang aneh di mimpi itu. Mereka memperhatikanku
seperti bertanya-tanya siapa aku, tapi aku terus berjalan hingga aku menemukan
ruangan besar, gelap, dan dihiasi dengan lampu-lampu. Mungkin ini yang namanya night
club. Aku siap untuk masuk, tapi dia, orang itu, tiba-tiba
menarik tanganku. Dia bilang, “Jangan masuk
sana. Ikut ke ruanganku aja.”
Di
ruangannya lagi-lagi aku bertemu orang-orang yang tak aku kenal. Mereka
tersenyum padaku, menyambutku hangat. Penampilan mereka sama seperti
orang-orang di luar ruangan ini, tapi sepertinya mereka dianggap lebih
istimewa, entah di bagian mananya. Mungkin termasuk dengan ruangan eksklusifnya
ini, dengan sofa besar melingkar yang empuk dan nyaman. Aku duduk di antara
mereka, duduk di sampingnya yang melingkarkan lengannya di sandaran dudukku. Nyamankah aku? Tidak sama sekali.
Aku terbangun dari tidurku dan melihat jam mejaku, masih jam setengah satu
malam. Perasaanku sudah tak enak sejak itu dan mencoba untuk tidur kembali.
Aku
kembali masuk ke dalam alam mimpiku. Suasana mimpi yang sama aku rasa, tapi aku
merasa lebih nyaman seperti sudah lama mengenal mereka semua. Aku berjalan
bersama beberapa orang dengan penampilan yang sama seperti mimpi sebelumnya.
Aku mungkin biasa menyebutnya gothic,
dark gothic. Kami masuk ke sebuah minimarket yang juga
punya bagian seperti cafe. Hanya ada seorang pelayan di balik meja pesanannya,
dia juga berpenampilan sama dengan kami. Mereka memesan dan mencoba beberapa
rasa es krim yang berbeda, tapi aku memesan secangkir cappucinno.
Benar-benar menyegarkan.
Sayangnya,
bagian mimpiku yang ini tak berhenti sampai di situ. Orang itu tiba-tiba datang
dan menghampiri kami semua. Seakan menanyakan sudahkah semua barang yang
dibutuhkan terbeli di mini market itu, lalu menghampiriku. Orang itu kembali
berdiri di sampingku, seakan mendampingiku. Dia menyarankanku mencoba seporsi
es krim
dengan rasa kesukaannya. Romantiskah???
Awalnya aku pikir dia mencoba untuk seperti itu. Tapi, sejak dia
masuk pun, aku sudah mulai merasa tak nyaman. Benar-benar tak nyaman sampai aku
terbangun sebelum alarmku berbunyi.
Aku
mengusap wajahku beberapa kali untuk menghilangkan rasa tak enak yang
menyelimutiku sejak terbangun dari. Mencoba untuk tidur kembali, tapi yang ada
hanya bolak-balik terbangun hingga panggilan Tuhanku disuarakan. Setelah
mencoba berbincang dengan Tuhan, aku baru bisa tertidur lagi. Dengan rasa lelah
yang tak hilang dengan tidur malam ini, aku ternyata masih bisa masuk kembali
dalam dunia mimpiku.
Tak
banyak yang berubah dari suasana yang dibawa dalam tidurku berikutnya. Aku
berada di lapangan basket. Di tengah-tengah
pertandingan yang dapat timku ungguli. Aku senang dengan keadaan itu, tapi
semuanya buyar. Saat time-out quarter kedua, aku bertemu dengannya di pinggir
lapangan. Orang itu mencoba menyemangatiku, tersenyum padaku, dan aku hanya
bisa terdiam lalu tersenyum tak enak padanya. Lagi-lagi aku merasa sangat-sangat tak nyaman.
Aku pun terbangun lagi saat jam mejaku menunjukkan pukul
06.56, hampir jam tujuh pagi.
Seharusnya
aku merasa senang, seharusnya, karena akhirnya aku bisa bertemu dengan orang
itu walaupun hanya dalam mimpi. But,
It’s all make me feel disgusting with myself. Hal macam apa lagi
yang aku harapkan darinya??? Entahlah, aku benar-benar tak mengerti. Rasa tak
nyaman dalam tidurku malam ini sepertinya akan sangat berpengaruh pada hariku.
Aku benar-benar merasa tak nyaman hari ini. Ooohhh, DAMN SHIT..!!!
Rasanya aku hanya ingin mengumpat pada diriku sendiri yang menjadi selemah ini.
Ah,
cangkir
kopiku
sudah kosong. Sepertinya ini tanda agar aku melanjutkan tugasku. Sedikit lebih
menyegarkan sepertinya. Matahari juga sudah tinggi sekarang. Waktuku semakin
sedikit dan aku masih tetap harus melangkah, kan???
Terima kasih pada secangkir kopi yang menyegarkanku
di pagi ini.
Kamis, 11 September 2014
Curcol: Bukan Lagi Waktu
Bukan lagi perkara waktu
yang ingin aku tuliskan.
Pada awalnya aku mengira ini
semua hanyalah masalah waktu saja hingga aku menyadari pertemuan demi pertemuan
yang terlewatkan begitu saja. Semuanya masih tetap sama, walau waktu sudah
mengalir selama ini. Tak pernah lagi aku menemukan, mungkin takkan pernah lagi,
jika aku hanya bergantung pada waktu untuk menyembuhkanku. Memangnya aku sakit
apa? Mungkin, semacam kecanduan pada sesuatu yang tak seharusnya, yang orang
lain sepertinya hanya perlu waktu untuk penyembuhnya. Ternyata spekulasi
tetaplah hanya spekulasi.
Waktu adalah obat yang
paling mujarab, kata orang, tapi rasanya tak berlaku di kasusku. Saat ini, aku
tersadar perihal keinginan terdalam dari diri sendiri. Selama ini melangkah
ditemani oleh lamunan tentang waktu, lamunan tentang masa depan yang akan
segera datang dan menjadi lebih baik. Namun, nyatanya tak ada yang berubah
menjadi lebih baik. Saat termenung kembali seperti sekarang ini, baru aku
sadar. Aku sadar bahwa diriku sendirilah yang tidak ingin untuk melangkah
pergi, untuk menjadi lebih baik, dan untuk mengambil kesempatan lain. Keinginan
terdalamku ternyata masih tertahan pada saat egoku memuncak dan menguasai
diriku.
Lalu, saat ini aku mulai
bertanya-tanya, benarkah saat itu hanya sekedar emosi dan egoku semata?
Bagaimana kalau ternyata aku memang benar-benar menginginkannya? Bagaimana
kalau memang ternyata ini semua sudah menjadi sebuah kecanduan? Kemudian, aku
tak mengerti lagi arah pikiranku setelahnya, semuanya terasa kembali kabur.
Benar-benar tak memiliki arah yang benar.
Keinginan terdalam.
Keinginan yang ada dalam benak ini, yang mungkin saja sudah tertanam terlalu
dalam. Seringkali aku berharap aku ini hanya robot, bukan manusia yang memiliki
jiwa, memiliki hati, dan memiliki perasaan. Robot hanya memiliki logika untuk
berjalan. Hanya perlu jajaran program untuk dipatuhinya. Tak peduli dengan kesalahan
yang mungkin dia lakukan, asalkan sesuai dengan programnya maka dia akan
lakukan. Tak peduli, sepertinya merupakan frase ampuh yang aku butuhkan di
sini. Kalau saja aku sudah bisa bekata tak peduli pandangan orang, mungkin aku
sudah melakukan lebih banyak hal bodoh hanya untuk mengikuti kecanduanku.
Pada cerita-cerita khayalan
yang aku temukan, beberapa bercerita tentang robot yang diciptakan terlalu
canggih dan akhirnya memiliki apa yang kita sebut hati. Aku harap kisah itu tak
akan pernah terjadi di dunia nyata. Aku hanya membayangkan seberapa kecewanya
para robot itu saat tahu para penciptanya saja sudah mulai tidak memiliki hati,
sudah mulai mengabaikan hatinya, dan sudah mulai tak menyadari keinginan
terdalamnya. Tak ada yang salah dengan kalimat sebelum ini karena aku mungkin
bisa menjadi contohnya. Manusia yang sudah mulai mengabaikan hatinya dan pada
akhirnya tak lagi menyadari keinginan terdalamnya.
Hidupku selama
bertahun-tahun hanya seperti menjalankan deretan program yang dituliskan untuk
aku jalani. Aku terjebak dalam penggunaan logika tanpa memiliki hati, apalagi
keinginan. Bahkan, keinginanku sudah diprogram sedemikian rupa hingga aku hanya
mengikuti aliran waktu yang diberikan padaku. Ambisi-ambisi yang aku kejar,
bukan lagi ambisi untuk diriku sendiri, tapi untuk orang-orang yang membentukku
agar aku menjadi seperti apa yang mereka harapkan, apa yang mereka inginkan. Sampai
pada saat ini, saat dimana aku mulai mempertanyakan siapakah sebenarnya aku dan
seperti apa aku yang sebenarnya.
Pemberontakan. Mungkinkah
ini semua yang terjadi padaku saat ini? Entahlah, semuanya masih terasa buram,
tapi mungkin ini semua juga karena program yang tertulis di logikaku juga sudah
mulai rancu. Aku mulai ingin untuk memiliki sesuatu yang seharusnya di dalam
programku saat ini itu belum tercantum dengan jelas. Seharusnya ini bukalah
program loop yang kembali ke titik
awal saat dinyatakan NO. Seharusnya
setelah ini aku menjalani sampai titik FINISH
dan menyerahkan pada waktu untuk menyembuhkanku, tapi kenapa aku berbalik pada point planning tepat sebelum action aku jalankan.
Ada error-kah dalam
programku? Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Atau mungkin diriku yang tidak siap
menerima program baru ini? Atau mungkin aku sudah tak lagi menggunakan logikaku
sejak masa itu? Masa dimana aku mulai mengenal hati dan menggunakan emosiku
untuk menjalankan hidupku. Bukan karena keinginan untuk memiliki atau
kecanduanku, tapi mungkin karena ketakutan dalam diriku yang tanpa sadar telah
merusak diriku sendiri.
Lalu, aku kembali mulai
bertanya, apa sebenarnya keinginan terdalamku. Aku sudah mencoba untuk
menyerahkannya pada waktu, tapi sayang sepertinya belum ada hasil. Aku malah
semakin bingung menentukan arah flowchart
logikaku sendiri sekarang. Semuanya terasa begitu kacau. Diriku saat ini terasa
begitu kacau. Aku bertemu dengan orang-orang baru yang dapat menerima
kondisiku, tapi aku tak yakin tentang tanggapan orang-orang sekitarku. Bisakah
aku percaya bahwa mereka akan menerima aku apa adanya sekarang ini? Aku yang tak
seperti apa yang mereka pikirkan. Aku yang tak seperti apa yang mereka
inginkan. Kecewakah kalian dengan keadaanku sekarang ini?
Kalau aku boleh menuliskan
tentang cause and effect theory,
rasanya ujung permasalahanku hanya satu hal itu saja. Lalu, mengapa semuanya
jadi seperti ini? Bukan, bukan kecanduanku yang kubicarakan, itu hanya salah
satu efek yang aku dapatkan. Entahlah, lagi-lagi semuanya menjadi buram dan
lagi-lagi aku berpikir seandainya aku dapat menggunakan frase ‘tak peduli’. Aku
terlalu banyak berpikir hingga semuanya menjadi makin buram dan tak berarah.
Buram. Aku menjalani ini
semua dengan pikiranku yang kusut dan belum terurai kembali seperti sebelumnya,
saat programku masih jelas arahnya. Aku tak akan menyalahkan kalian yang tidak
mengerti aku sekarang ini karena aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang
terjadi padaku. Seperti yang aku tuliskan sebelumnya, pikiranku semakin buram
dan aku benar-benar terlalu banyak berpikir kali ini. Kepalaku saja sampai
sakit dan lagi-lagi logikaku tak mampu untuk mengungkapkan apapun kali ini. Ya,
aku sungguh-sungguh tak akan menyalahkan kalian jika kalian memang tak mengerti
aku sekarang ini.
Langganan:
Postingan (Atom)