Laman

Minggu, 06 Juli 2014

Milikku yang Berharga

Di dalam rumah kontrakan mungilku sudah sejak sebulan yang lalu bertambah milikku yang paling berharga. Gadis manis yang tersenyum menyambut kepulanganku. Sejak sebulan yang lalu aku memilikinya, walaupun aku rasa tak seutuhnya dia ada di sini untukku. Namun, dia tetaplah milikku, milikku yang paling berharga dan akan terus aku jaga. Aku berjanji akan terus menjaganya.

“Mas Rama, udah pulang? Hari ini aku belajar masak ayam panggang. Ribet juga ternyata, Mas, pake santen, diungkepnya juga lama, terus baru mau aku panggang ini. Aku juga udah mulai hafal masak sayur asem yang enak. Terus, aku juga ada....”
“Masaknya nggak perlu banyak-banyak kita kan cuma berdua, Gin.” Aku menghentikan ocehannya tentang masakan hari ini.

Aku berada dibelakang tubuhnya, memandangnya yang sibuk melihat catatan-catatan resep masakan yang ia kumpulkan dari internet sambil terus mengolah bahan masakannya. Ia memang berbicara padaku, tapi tak memandangku. Aku menyentuh pundaknya, membuat dia berhenti sejenak dan berdiri tegak dihadapanku. Aku memandang rambut hitam kelamnya, menyentuhnya sesaat, lembut. Aku buka ikatan rambutnya dan membenahi rambutnya dengan tanganku. Kelembutan yang aku rasakan nyata ditanganku. Lembut rambut hitam kelamnya yang bergelombang.

“Sudah, sudah rapi lagi sekarang.” Aku menepuk pundaknya dengan lembut, menandakan aku sudah selesai membenahi rambut hitam kelamnya.
“Makasih, Mas.” Dia menengok ke arahku dan tersenyum sebelum akhirnya kembali sibuk dengan masakannya.

Aku meninggalkan dapur, meninggalkan istri yang aku nikahi sebulan yang lalu. Gina, gadis yang lebih muda lima tahun dariku dan sudah aku kenal sejak masa kecilku. Kami berasal dari daerah yang sama, bertetangga dengan keluarganya adalah satu pengalaman tersendiri bagi keluargaku. Kami memiliki kultur yang begitu berbeda mungkin karena perbedaan usia orangtua kami. Aku yang anak bungsu dari empat bersaudara ini saja lebih tua lima tahun dibanding Gina yang anak tunggal. Bisa aku bilang keluarga kami lebih tenang dibanding keluarganya.
Pertengkaran orangtuanya seringkali membawa Gina yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar berlari ke rumahku, melarikan diri. Dia tidak pernah menangis, walau sesedih apapun. Hanya saja ketika ditanya alasannya datang, dia akan terdiam dan menundukkan kepala sesaat, lalu mendongak dan tersenyum untuk kembali mengajakku bermain. Aku yang lebih tua lima tahun darinya menyadari bahwa dia tidak mau menceritakan itu semua. Dia memendam tangisnya sendiri dan menutupinya dengan senyuman.

“Pas banget. Mas selesai mandi, makanannya siap. Ayo Mas, cepetan nanti keburu dingin nih.” Gina mendatangiku, merangkul lenganku dan menuntunku ke meja makan.
“Lagi-lagi kamu masak banyak.”
“Kan Mas juga makannya banyak. Menu makan kan juga harus lengkap. Nih, ada sayurnya, ada lauknya.” Dengan bangganya Gina menunjukkan hasil masakannya hari ini yang sudah siap dia atas meja makan.
“Kalau dalam setahun ini aku jadi gemuk, aku tahu harus menyalahkan siapa?” Aku meliriknya, menyindir.
“Mas Rama nihhh... Aku kan udah susah masak, harus dimakan dong. Mau jadi gemuk juga aku nggak papa kok.” Dia mengakhiri perkataanya sambil tersenyum ke arahku.

Dia tersenyum. Gina kembali tersenyum malam ini. Rasanya hanya itu yang aku perlukan saat  ini untuk melepas lelahku, beban pekerjaanku. Sama seperti setahun lalu ketika dia datang ke ruanganku, ruangan baruku saat itu. Aku baru saja pulang dari studiku di luar negeri, baru saja sebulan sejak kedatanganku kembali. Aku yang ditugaskan sebagai salah satu anggota penanggungjawab laboratorium tempat aku mengajar, sempat kaget melihat dirinya masuk ke ruanganku siang itu. Mengetuk pintu seadanya dan ketika masuk langsung menyerbu dengan kata-katanya yang super cepat. Meminta penjelasanku karena tidak sempat menemuinya setelah pulang, tidak sempat mengobrol dengannya, dan akhirnya dia mengarah pada oleh-oleh yang aku janjikan padanya. Sebenarnya, siang itu aku sangat senang melihatnya lagi setelah lebih dari dua tahun tak bertemu dengannya. Senyum kekanak-kanakannya masih tetap sama, tapi aku tahu tawanya saat itu lebih tulus dari yang dulu dia lakukan. Walau penampilannya lebih dewasa dengan rambut panjangnya, tawanya tetap kekanak-kanakan. Dia tetap gadis kecil bagiku.
Siang itu, dia bicara banyak denganku, tentang kuliahnya, pilihan prodinya yang mengikutiku, tentang teman laki-lakinya yang dia taksir, hingga tentang teman-temannya di kota yang baru baginya ini. Dia banyak tersenyum siang itu, dia bilang senang bisa bertemu dan mengobrol denganku lagi. Gadis kecilku yang manis sekarang kamu sudah tumbuh makin dewasa ya? Hanya itu yang aku pikirkan siang itu. Setelah itu kami memang tidak terlalu banyak bertemu dan mengobrol seperti itu dan seperti kehidupan kami sebelumnya. Kami tahu posisi kami yang tidak bisa melakukannya dengan leluasa karena dia adalah seorang mahasiswi di tempat aku mengajar sebagai seorang dosen. Kami saling menghargai apa yang kami lakukan dan kami kerjakan.

“Enak nggak Mas?” Pertanyaannya menghentikan pikiranku.
“Enak kok, tapi buat aku agak kemanisan bumbu ayam panggangnya. Tapi sayur asemnya makin enak dari yang kemaren-kemaren itu.”
“Syukur deh, aku kira nggak enak soalnya Mas kayak mikir gitu. Kerjaannya banyak ya Mas?”
“Nggak juga, tapi semester ini waktu ngajarku kan lebih banyak dari yang semester kemarin. Oh iya, kamu sampai kapan mau cuti kuliahnya?”
“Sampai aku mau masuk lagi.” Gina menundukkan kepalanya. Sepertinya aku salah bicara. Saat seperti ini malah membuat dia kemabali pada pikiran-pikiran negatifnya. Tapi, dia kembali mendongak dan tersenyum. “Tapi, secepatnya kok Mas. Paling lama satu semester deh, aku janji.” Senyum terpaksamu itu malah membuat hatiku sakit dan kembali mengikutimu, tersenyum dengan terpaksa.
“Ya sudah yang penting yang terbaik buat Gina saja. Mas tambah lagi boleh makannya?”
“Yup, tentu boleh dong. Hehehee.” Akhirnya kamu tersenyum dengan tulus lagi, Gin. Menghilangkan ketakutanku.

Gadisku itu masih terus mencoba memendam kesedihannya. Pada akhirnya, dia sendiri yang kesakitan dan menangis ketakutan menyalahkan diri sendiri. Entah apa yang harus aku rasakan atas hal ini, toh pada saat itulah dia akan berlari ke arahku. Gadis kecil itu akan datang padaku dan mengajakku bermain, menutupi kesedihannya dengan senyum terpaksanya itu. Senyuman itu membuat aku mengerti, aku hanya perlu meladeni keinginannya dan tak banyak bertanya macam-macam. Semua ini karena tanpa perlu dia mengatakan apa yang ia rasakan, aku sudah tahu apa yang dia rasa dan dia pendam dalam kesakitannya itu. Aku hanya perlu menjadi tempat dia berteduh dan menghibur dirinya.
Gina sedang mencoba menutupi segala kesedihan yang dia rasakan saat ini. Dia sedang berjuang untuk tetap menjadi gadis tegar di hadapan semua orang. Karena semua itulah dia memutuskan untuk mengambil cuti kuliah,dia tidak mau teman-temannya tahu tentang masalah yang dihadapinya ini. Dia tak mau menyebarkan kesakitan yang dia rasakan. Menghindari lingkungan kampus sebisa mungkin, itulah yang dia lakukan. Aku hanya berharap dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan cara ini.
Setelah hari dimana dia puas menangis di hadapanku, aku tidak pernah melihat dia menangis lagi. Mungkin tidak secara terang-terangan, tapi aku masih melihat matanya yang indah itu sembab dan basah. Di dalam tidurnya pun aku masih melihat kegelisahan di raut wajahnya yang terlelap. Mengerutkan keningnya hingga meneteskan air mata saat dia tertidur dan aku hanya bisa membuka kepalan tangannya pada bantal yang dia cengkeram. Begitu kencang dan kuatnya. Kadangkala aku berpikir, ‘Sebegitu ketakutankah kau akan hal ini?’.

“Mas.” Aku menengok dan melihatnya berdiri di belakangku yang duduk di sofa depan tv. “Mas, besok libur kan, atau ada kerjaan lagi?” Gina berjalan ke arahku dan duduk di sampingku, memandangku.
“Iya, besok Mas libur, nggak ada kerjaan apa-apa di kampus. Memang kenapa?” Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Tapi mungkin tidak salah juga dia menanyakan  hal ini, toh dua minggu terakhir aku memang berangkat ke kampus walaupun itu akhir pekan karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.
“Temani aku ya, Mas.” Gina memegang tanganku saat melontarkan permohonannya ini.
“Kemana?” Kali ini aku tak bisa menebak arah pemikirannya. Gina, aku benar-benar khawatir kali ini.
“Mmmm...” Gina menundukkan kepalanya dan sebelum menjawab dia menghembuskan nafasnya yang terasa berat. “Aku mau pulang, mau ketemu sama Mama, sama Papa. Aku...” Kata-katanya terhenti dan ia mengalaihkan pandangannya, aku melihat dia sedikit ragu meneruskannya.
“Iya, besok pagi-pagi kita pulang. Mas temani Gina ketemu sama Mama Papa Gina.” Aku menggenggam balik jemarinya dengan lembut, mencoba menguatkan keputusannya untuk bertemu dengan kedua orang tua lagi setelah pernikahan kami. Dia menengadah lagi, menatap langsung ke mataku. Sepasang matanya yang indah terlihat mulai berkaca-kaca.
“Aku takut, Mas. Aku masih takut ketemu mereka.” Tiba-tiba Gina memelukku. Gina kembali menangis malam ini, di pelukanku. Aku membelai rambutnya dengan lembut, mencoba menenangkannya.
“Apalagi yang Gina khawatirkan? Sekarang ada Mas kan di sini? Gina punya Mas sekarang, Gina nggak sendirian lagi. Jadi tenanglah, mas juga udah janji kan bakal selalu nemenin Gina apapun keadaannya.” Perlahan Gina melepaskan pelukannya. Dia masih diam tertunduk saat sudah dalam posisi duduk di hadapanku. Oh Gina, gadis kecilku, aku mohon hentikan air matamu itu. Aku merasakan sakit yang sama saat kau menangis, andai saja aku mampu mengungkapkannya.
“Iya, aku ngerti, Mas. Mas Rama bakal terus ada buat aku, bakal terus nemenin aku.” Akhirnya aku dengar suaranya walaupun masih ada isak tangis diantara kata-katanya.
“Iya. Jadi nggak perlu ada yang Gina takutin lagi. Oke?” Aku menyentuh kedua pipinya yang kemerahan akibat menangis, mendongakkan wajahnya, dan menghapus perlahan aliran air matanya.

Gina menghentikan tangisnya sambil sesenggukan. Caranya menangis masih sama dengan saat dia dulu berlari ke rumahku, mungkin saat itu dia masih duduk di kelas 3 SD. Baru kali itu aku melihatnya menangis ketakutan. Gina kecil masuk begitu saja ke dalam rumahku, duduk di kursi tamu dan memeluk kedua kakinya yang dia tekuk. Dia menangis sesenggukan dan tubuhnya bergetar. Spontan saja saat itu ibuku menghampirinya, membelai rambutnya dan memeluknya. Gadis kecil itu menghentikan tangisnya, mencoba menghapus bekas air matanya.
‘Gina kenapa? Coba cerita sama Budhe.’ Ibuku menanyakan apa yang terjadi padanya setelah Gina meminum segelas air putih yang aku bawakan untuk menenangkan diri.
‘Aku takut, Budhe. Mama marah-marah, terus banting-banting barang. Papa juga marah-marah, teriak-teriak nakutin. Dua-duanya nakutin, Budhe. Tangannya nunjuk-nunjuk gini, ke muka yang lainnya. Terus, Budhe...’ Gadis kecil itu menghentikan kata-katanya, kembali menangis.
‘Sudah, sudah. Gina di sini saja dulu, nanti biar Budhe yang ke sana dulu. Ya, sayang ya?’ Ibu kembali memeluk tubuh Gina yang bergetar karena menahan tangis.
Gina kecil tak banyak bicara setelah dia menangis saat itu. Malam itu, dia tidur di rumahku, tidur bersama kakak perempuanku, mbak Astrid. Aku masih ingat sebelum dia pergi tidur, dia sempat mengajukan pertanyaan aneh saat itu padaku.
‘Mas Rama, kalau mama sama papa pisah,aku bakalan ikut siapa ya, Mas? Aku nggak tahu mau ikut siapa, aku nggak bisa milih, Mas.’ Aku sempat terkejut dengan pertanyaannya, mungkin karena aku sendiri tidak pernah berada di posisinya sekarang.
‘Gina nggak perlu milih. Mama sama papamu nggak bakal kemana-kemana kok, mereka bakal bareng terus. Toh, kalau nanti ada apa-apa kan masih ada keluargaku di sini. Lari aja ke sini lagi. Gina nggak bakal sendirian kok.’
‘Nanti kalau aku ada apa-apa, aku pasti lari ke sini. Aku mau minggat ke sini aja. Mas Rama juga nanti janji ya buat nemenin aku main juga.’
‘Dasar! Iya, iya aku janji. Aku bakalan nemenin Gina kalau memang itu kejadiannya. Sudah sana, katanya mau tidur.’ Dia tersenyum malam itu sebelum akhirnya pergi masuk ke dalam kamar kakakku. Malam itu aku tak pernah menyangka janjiku akan ditagih.

Bisa aku bilang, hari liburku kali ini penuh dengan kejutan. Entah aku bisa menyebutnya sebagai hari mengakhiri atau mungkin malah mengawali bagian yang baru. Sepertinya aku sudah banyak menghela nafas sejak duduk di depan rumah orang tuaku sore ini. Aku mencoba mencerna sekali lagi segala yang terjadi hari ini. Kami berangkat di pagi hari dan sampai di kota ini saat makan siang. Lalu, segera menuju tempat tinggal orang tua Gina dan banyak hal yang telah kami bicarakan. Satu sisi hatiku lega mendengarkan akhir pembicaraan itu, tapi sisi lainnya masih menyisakan kekhawatiran. Tentu saja, aku mengkhawatirkan gadis manisku.

“Mas Rama.” Suara lirih Gina memanggilku.
“Eh, sudah bangun. Gimana?” Aku memandangnya yang tampak lelah.
“Kepalaku jadi agak pusing, Mas.” Gina duduk di sampingku dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Mata indahnya terlihat sembab. Ya, siang ini dia banyak menangis. Rasanya seperti dia mengeluarkan segala emosi terpendamnya selama ini.
“Nggak papa, istirahatlah bentar biar baikan lagi. Gina udah banyak usaha hari ini, jangan paksain diri lagi. Semuanya udah selesai kok hari ini.” Aku sedikit mengubah posisi dudukku, merangkulnya, dan membelai rambut hitam kelamnya yang lembut dengan perlahan, mencoba menenangkannya.
“Iya, Mas. Aku udah ikhlas mama papa mau gimana habis ini. Setelah ini nggak akan banyak yang berubah kan, Mas . Aku masih tetap anak mama papa dan istri mas Rama. Itu udah cukup, Mas. Keputusan apapun yang mereka ambil aku harus menghargai itu. Walaupun itu berarti mereka nggak akan bareng lagi dan hidup masing-masing.” Mata cantik Gina lagi-lagi menerawang entah kemana.
“Ya, itu juga sudah jadi keputusan Gina. Nggak semua hal bisa berjalan sesuai yang kita mau. Kadangkala hal yang kita lihat baik malah bisa jadi hal yang paling buruk untuk semuanya. Kita nggak bisa maksain mama papa Gina untuk terus bareng kalau ternyata malah kebersamaan mereka itu adalah hal yang menyiksa bagi mereka. Nggak perlu juga menyesal tentang kebersamaan mereka yang terus harus berakhir. Toh, karena mereka berdua juga, Gina bisa ada di sini sekarang. Berterimakasihlah tentang hal ini juga. Semua sudah ada yang mengaturnya. Sudah ada yang tahu mana yang lebih baik untuk kita semua di sini. Jadi, Gina sekarang harus lebih semangat lagi, banyak ketawa lagi, dan selesaiin kuliah secepatnya. Sayang kan udah tahun-tahun akhir ini.”
“Ah, Mas Rama merusak suasana nih...” Gina melepas rangkulanku  dan menatapku.
“Lho emang apalagi yang salah?”
“Yah, suasana lagi enak kayak gini malah ngingetin soal kuliah lagi. Nggak romantis lagi kan jadinya.” Kali ini Gina memasang wajah merajuknya yang lucu sekali. Gadis kecilku yang kekanakan.
“Lha kan bener, biar nanti kalo mas ambil S3 jadi ada yang nemenin.”
“Eh, emang mau kapan perginya, Mas?”
“Segera setelah skripsimu selesai, mas mau ambil tes seleksi beasiswa S3. Mas sih maunya ke Jepang. Gimana?”  Wajah manisnya sedikit merengut, berpikir. Kadangkala menggodanya macam ini memang sedikit menarik. Melihat ekspresi  reaksinya yang selalu saja bisa membuatku terhibur.
“Wah, sore-sore gini mesra banget, sih. Hawanya udah tambah dingin lho di luar. Masuklah.” Suara ibu menghentikan pembicaraan kami.
“Iya, Budhe.” Jawaban Gina yang spontan membuat aku dan ibu menengok ke arahnya.
“Budhe? Gina belum mau ganti manggil jadi Ibu?” Aku mencoba menggodanya lagi. Gina bereaksi dengan raut wajah kaget dan kebingungan.
“Ah iya. Ibu maksud Gina.” Akhirnya Gina menjawab sambil tertunduk malu, manisnya istriku ini.
“Ahahahaa...” Setelah itu hanya tawa yang aku dengar saat kami memasuki rumah bersama-sama.
Hari ini memang banyak air mata yang menetes dari mata indahnya, memang banyak perasaan terpendamnya yang terungkap, dan memang begitu banyak emosi yang dia perlihatkan. Aku tahu sudah banyak hal yang dia pendam sendirian sejak kedua orang tuanya mulai tak akur lagi. Gadis manisku itu sudah pasti lelah dengan segalanya yang terjadi hari ini dan juga yang telah terjadi bertahun-tahun ini. Tapi, aku bahagia hari ini karena tawa cerianya sudah kembali, senyum kekanakannya telah muncul lagi, dan sifat manjanya yang menggemaskan telah lama aku menantinya. Tak apa kalau orang-orang menilaiku sebagai seorang penggila Gina dengan membaca ceritaku ini. Toh, pada dasarnya bukan Gina yang membutuhkanku, akulah yang membutuhkan keberadaannya di sampingku. Aku memang sudah tergila-gila padanya.

Saat satu hal selesai, aku menyadari akan ada hal baru yang menanti di depan sana. Tapi saat itu tiba, Gina sudah tak akan menanggung segalanya sendirian. Aku akan tetap menepati janjiku padanya untuk selalu menemaninya. Menemani seorang wanita manis yang telah menjadi milikku yang berharga dan akan selalu kujaga.

Kamis, 03 Juli 2014

Cerpen: Sayangnya Aku bukan lagi anak SMA

Sayangnya aku bukan lagi anak SMA. Hal macam inilah yang terlintas dalam benakku saat mengingat hal-hal gila yang dulu pernah terjadi di masa SMA-ku. Ah, tenang saja ini bukan kisah sedih penyesalanku, tapi hari ini aku kembali ke SMA sebagai tokoh yang berbeda. Hari ini aku datang tanpa seragam dan tanpa ranselku, aku datang sebagai guru baru. Tanpa sadar aku pun tersenyum sendiri melihat gedung sekolahku ini. Aku rasa aku benar-benar merindukannya. Ya, aku merindukan masa SMA-ku.
“Rasti, sudah siap masuk kelas?” Ah, beliau adalah pak Dias, guru yang aku taksir saat SMA. Tak sangka sekarang jadi teman kerja. Wah, jadi ketawa-ketawa sendiri nih aku.
“Ah, iya Pak. Saya ke kelas X-6 pagi ini.”
“Baguslah, saya ada di kelas sebelahnya. Ayo, ke sana.” Pak Dias menyeimbangkan langkahnya denganku sambil tersenyum ramah.
“Pak Dias memang nggak berubah ya dari dulu, tetap santai dan ramah. Pasti sekarang yang jadi fans Bapak juga banyak ya?” Ah, sial aku kelepasan menanyakannya.
“Ah, tidak juga. Dari tahun ke tahun makin sedikit kok populasi fansku. Ah, tenang saja, belum ada yang mengalahkanmu Ras, kalau soal fans di sekolah ini.” Pak Dias lagi-lagi tersenyum. Tapi, aku malah merasa ingin mati saja kalau mengingat kebodohanku dulu. Sial, sial, sial. Benar-benar salah topik pagi ini.
Aku benar-benar bukan anak SMA lagi ya? Melihat tawa mereka saja jadi mengingatkanku tentang keusilan teman-teman satu kelasku. Permainan anak-anak yang kami mainkan telah membuat rusuh satu sekolah dan alhasil membuat kami harus dihukum menjadi jemuran manusia di lapangan tengah sekolah. Malunya harus jadi tontonan satu sekolah saat itu. Ah, aku jadi ingat sepulang sekolah seperti ini juga, dulu Arya sering main basket sebelum pulang ke rumah. Si bodoh itu memang tak pernah memperdulikan panasnya matahari. Tapi, sepertinya aku lebih bodoh lagi karena mau saja menunggunya sampai puas bermain basket. Bego.
“Sudah selesai mengajar hari ini, Bu guru?”
“Ah, iya sudah.” Tanpa sadar saat ini aku sudah terduduk di undakan teras menikmati permainan anak-anak basket. Tapi ini kan suara, “Ah, Mas kok ada di sini? Lah, emangnya dibolehin masuk ya?” Aku kaget dan tanpa sadar jariku sudah menunjuk-nunjuknya.
“Hey, dasar nggak sopan.” Dia menurunkan jari telunjukku. “Ah, kayaknya udah lama aku gak main basket. Aku mau ikutan main dulu ya. Titip jaket ini dulu.” Dia melepas jaket yang dikenakannya dan langsung masuk lapangan.
“Ah, tapi Mas... Mas...” Terlambat sudah. Si bodoh itu lagi-lagi membuatku harus menunggu dan hanya melihat kesenangannya bermain basket. Ternyata memang aku ini lebih bodoh dari si bodoh itu. Fixed, aku dicuekin kali ini, lagi.
Tak kusangka dia cepat juga akrab dengan anak-anak basket itu. Aku tak habis pikir apa ini semacam kutukan atau penyakit turun temurun. Anak basket sekolah  ini dari dulu memang tak pernah berubah, sama seperti si bodoh itu yang rela kepanasan dan basah oleh keringat. Ah, tapi siswi sekolah ini juga masih belum berubah. Aku masih bisa lihat anak-anak perempuan sesekali berteriak seru menonton permainan basket dari lantai dua. Mereka sampai menunjuk-menunjuk ke tengah lapangan pula. Apa mereka nggak sadar kalau yang main di tengah lapangan mungkin saja sadar kalau diperhatikan? Mungkin ini juga sebuah kutukan atau mungkin penyakit bodoh yang turun temurun. Hehehee
Aku masih ingat dulu sewaktu Arya melarangku untuk ikutan nonton dari lantai dua. Katanya, “Besok-besok jangan liat basket dari lantai dua sambil nunjuk-nunjuk gitu ya. Nanti yang lain ikutan GR. Kan kamu liatinnya aku doang bukan yang lain.” Cih, orang yang satu itu benar-benar bodoh dan narsis pula. Kalau kata-katanya seperti itu bukannya dia yang GR. Heran, aku.
“Lho, Rasti kok masih di sini?” Aku menengok dan ternyata pak Dias berdiri di sampingku.
“Oh Pak, saya sedang menunggu orang itu.” Aku menunjuk ke arahnya yang sedang asyik bermain di tengah lapangan.
“Wah, masih semangat saja dia main basket. Kamu juga masih setia saja menunggunya selesai main. Ahahahaa.. kalian ini memang pasangan yang selalu punya kejutan ya?” Pak Dias malah jadi ikutan duduk di sampingku.
“Yah, maaf deh, Pak, kalau ini juga mengenai kebodohan kami berdua dulu. Saya juga nggak nyangka kalo bakal kayak gitu jadinya, Pak. Tapi, saya jadi sadar kalau orang itu ternyata memang tulus suka sama saya, Pak.” Aku hanya mampu tersenyum malu.
“Ahahaa... iya, memang sih bikin heboh satu sekolah juga waktu itu. Waktu Arya tiba-tiba datang ke arahku dan hampir saja pukulannya mengenai wajahku. Untung itu bukan di ruang guru.”
“Tapi kan masih di wilayah sekolah, Pak. Masih di parkiran. Huuftt..” Aku hanya mampu menghela nafas mengingat kejadian itu.
“Yah, tapi masih untung juga nggak diperpanjang kan masalahnya dan dia masih bisa sekolah di sini sampai lulus. Sayang kalau siswa berprestasi seperti dia sampai dikeluarkan. Aku juga sudah dengar masa kuliahnya juga singkat dan nilainya bagus.”
“Yah memang untung cuma diskors seminggu, ternyata juga nggak menimbulkan masalah dengan belajarnya. Tapi, ada untungnya juga Pak dia diskors, waktu itu dia bilang jadi hafal susunan buku di perpus sekolah. Selama diskors, dia masih datang ke sekolah dan selalu di perpus. Yah, walaupun lebih sering numpang tidur. Ahahaa...”
“Iya-ya. Dia memang anak cerdas dan juga nekat. Nyaris memukul dan langsung memaki guru dengan kata-kata kasar. Tapi, semua dia lakukan hanya untuk membela orang yang sangat dia sukai kan, Ras? Pasti kamu bahagia sekali saat itu. Benar-benar pasangan yang penuh kejutan.”
“Yah, waktu itu antara senang dan juga malu rasanya. Itu semua juga seharusnya menjadi tanggung jawab saya. Dia mengira saya menangis gara-gara pak Dias. Ternyata, dia lihat waktu saya bicara dengan Pak Dias dan menangis saat itu. Setelah itu, saya bertengkar dengannya di kelas, dia menunggu saya di sana. Menanyakan dengan kasar apa yang saya bicarakan dengan bapak dan juga kenapa saya menangis. Dia itu...”
“Cemburu.” Pak Dias memotong kata-kataku.
“Eh?” Aku langsung menengok ke arah Pak Dias dengan wajah yang memerah.
“Ya. Dia waktu itu cemburu kan? Dia mengira kamu bilang suka dan aku menolakmu. Dia bilang seperti itu saat kami bicara berdua saja setelahnya. Kalian benar-benar pasangan yang bikin repot saat itu.”
“Ah iya Pak Dias benar. Tapi, terima kasih untuk waktu itu ya, Pak. Juga, mohon bantuannya sebagai rekan kerja untuk selanjutnya. Hehehe...” Kami berdua tersenyum dan tertawa bersama di sana mengingat tentang kejadian saat aku menjadi anak SMA. Ya, aku bukan anak SMA lagi.
Aku jadi teringat dengan perasaan senang, takut, dan malu yang bercampuk aduk saat itu. Meminta maaf sambil menangis di depan para guru hanya untuk membela si bodoh satu itu. Setelahnya, aku heran dengan diriku sendiri yang masih bertenaga untuk memakinya dengan segala kebodohannya itu. Kami sempat tidak saling bicara setelah kejadian itu. Benar-benar perang dingin .
Ternyata, saat itu memang masih anak SMA yang bingung saat sadar sudah menyukai teman sendiri. Beberapa hari setelahnya aku mendatanginya di perpustakaan sekolah. Aku melihatnya tertidur di sana, rasanya nggak rela harus bangunin dia saat itu. Jarang-jarang kan lihat dia diam kayak gitu, jadi sedikit lebih manis lihatnya. Hehehee...Yah, saat itu kami baikan dan hubungan kami terus membaik hingga saat ini.
“Pak Dias. Selamat siang, Pak.” Mereka saling menjabat tangan.
“Siang, Arya. Wah, sekarang rasanya sudah jauh lebih dewasa ya, nggak nyangka dulu saya sempat jadi guru kalian. Berasa tua saya sekarang.” Pak Dias memandang kami bergantian.
“Mas, sudah selesai mainnya kan?” Aku ikutan berdiri dan menyodorkan jaketnya.
“Wah, sekarang manggilnya mas ya? Kemajuan dan kejutan lagi.” Wajahku lagi-lagi memerah dengan perkataan Pak Dias ini.
“Ah, Pak Dias nih. Kan sekarang dia sudah resmi jadi milikku seorang, Pak. Masa iya, manggilnya masih ‘Arya, Ya, Arya’. Kemajuan sedikit dong, Pak.”
“Ahahaha...” Dua laki-laki itu sekarang bisa tertawa bersama. Aku senang.
Aku memang bukan lagi anak SMA. Sekarang aku adalah seorang guru di sekolah ini. Aku mungkin masih menjadi fans dari pak Dias, tapi aku juga sudah menjadi rekan kerjanya. Aku juga bukan lagi berstatus pacar bagi Arya, tapi sudah menajdi istri dari mas Arya. Kalau orang lain mungkin akan berhenti bekerja karena menikah, sedangkan aku malah sebaliknya. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan ini setelah menikah. Aneh memang cara hidupku berjalan. Sama anehnya dengan cara Tuhan untuk mendekatkan kami sekarang. Berawal dari teman, sahabat, pertengkaran, rasa suka, marah, malu, bimbang, hingga cinta. Ah, benar-benar berawal sejak aku masih jadi anak SMA.
 “Ah, Ras. Jadi berasa nostalgia ya?”
“Dasar tua!!!” Aku mempercepat langkahku mendahului Mas Arya berjalan di depanku untuk menuju tempat parkir.
“Heeiiii... Kita kan tuanya sama-sama. Tapi, beneran lho ini kayaknya baru kemaren aku pulang sekolah bareng-bareng sama kamu. Main basket sambil kamu tungguin. Pak Dias juga nggak banyak berubah kan? Wah, bener-bener sudah berapa tahun ya kita nggak pulang bareng kayak gini dari sekolah?”
“Mas, mas ke sini naik apa? Jangan bilang...” Aku berhenti melangkah dan membalikkan tubuhku. Aku menatapnya lekat-lekat.
“Naik motor lahh... ini kan nostalgia...” Dia benar-benar mengucapkannya dengan enteng.
“Mas, hari ini kan aku pake rok selutut. Mas ini gimana sih. Kan nanti susah boncengnya. Aahhh....” Aku mulai merengek.
“Ah, dulu juga kan seragammu rok pendek selutut dan nggak masalah kan?” Benar-benar deh, santai banget jawabnya.
“Aku kan bukan anak SMA lagi, Mas.”
“Ah, gimana kalau habis ini kita makan di tempat bakso yang dulu biasa kita datengin kalau pulang telat. Sekalian ngerayain hari pertama kamu kerja. Kan aku juga cuti buat ini. Ayo, aku juga udah lapar.” Huufftt... Fixed, aku dicuekin lagi.

Ternyata, memang sudah bukan anak SMA lagi ya. Tapi, beruntungnya aku masih tetap saling menyukai dengan orang sama saat SMA. Cincin senada yang kami kenakan di jari manis kami sejak tiga bulan lalu bisa jadi bukti dan saksinya. Memang tak banyak yang berubah dari cara kami saling menyayangi, tapi kami berubah dengan cara kami menjalani hubungan ini. Semua hal yang pernah kami jalani berdua sejak SMA, memang telah menjadi kenangan. Aku bahagia hari ini bisa sedikit mengingat kebahagiaan dan keceriaan di masa SMA-ku. Ah ternyata, memang sayang ya aku bukan anak SMA lagi. Heheheee...

Cerpen : Akhir dan Awal

Hmmm... Aroma makanan yang menyeruak ini, benar-benar membuat aku lapar. Padahal tumpukan kardus makanan sudah siap di bagian depan rumah, tapi sepertinya dapur yang sudah seperti dapur umum itu belum juga beristirahat. Di bagian luar rumah, orang-orang juga sudah mulai mondar-mandir menyiapkan kursi, meja, dan dekorasi untuk persiapan pesta. Hari ini akan ada pesta pernikahan di sini, di rumah ini. Bukan, ini bukan pesta pernikahanku kok. Ini rumah mempelai perempuan yang sedang bersiap-siap di dalam kamarnya. Tapi, rasanya aku yang jadi tidak sabar melihat hasilnya. Waahhh...
“Lho, Mbak Sandra kok masih di luar sini?” Salah seorang kerabat Nita, sang mempelai perempuan, menepuk pundakku. ”Nita sudah selesai didadaninnya lho, Mbak. Tadi katanya nyariin Mbak Sandra.”
“Oh iya, Bu. Sebentar lagi aku masuk kok, ini cuma masih bantuin nata-nata meja-meja ini.” Aku hanya dapat mengangguk-angguk saja dengan tangan penuh wadah makanan seperti ini.
Segera setelah aku memasuki ruangan untuk berlangsungnya akad nikah, Nita melambaikan tangannya. Hari ini memang dialah ratunya. Kebaya putih yang dikenakannya begitu anggun dengan riasan yang mempercantik wajahnya yang lugu. Sekarang aku percaya kata orang, kalau perempuan yang akan menikah itu jadi lebih cantik. Entahlah, mungkin itu memang aura perempuan yang akan menikah atau mungkin hanya kebahagiaan yang terpancarkan di wajahnya. Tapi, satu hal yang tampak sekarang adalah kecantikannya yang begitu anggun.
“Mbak, Mbak nggak mau ganti baju dulu. Tadi, katanya, rombongan mas Hanif sudah siap-siap berangkat lho.” Ah, iya. Aku masih memakai atasan kaos oblong. Masa iya, di pernikahan sahabatku aku pakai baju kayak gini terus. Tapi, lebih enak gini sih sebenarnya. Hehehee...
“Ah, sebentar lagi deh. Aku mau nemenin kamu di sini dulu. Kata Hanif, di hotel mereka nginap juga lagi ribet banget. Kalau udah mulai berangkat, dia bakal sms kok. Pas itu baru aku ganti tampilan deh, tapi nggak bakal ngalahin cantiknya kamu hari ini kok. Tenang aja.” Aku duduk di samping Nita dengan santainya. Memang lebih enak seperti ini ya.
“Yah, Mbak Sandra nih, emangnya nggak mau dandan dulu gitu? Ini kan nikahanku lho, Mbak.” Nita menyenggolku dengan manja.
“Iya-ya, siapa tahu kalau aku dandan ada yang kecantol sama aku juga ya? Iya deh, bentar. Aku masuk dulu ya, Nit.”
“Ah, dasar Mbak Sandra nih...” Senyumnya memang manis ya. Hehehee
Entah sebenarnya apa yang ada dalam diriku ini. Banyak adik kelas yang pada akhirnya bisa dengan manjanya dekat denganku, termasuk Nita itu. Ya, Nita itu adik kelasku sewaktu kuliah, dia lebih muda dua tahun dariku. Aku mengenalnya dari Hanif yang dengan semangat empat lima mengejarnya. Waktu itu rasanya benar-benar repot mengurusi hubungan mereka. Ah, memangnya aku ini siapa sih sampai harus ikut-ikutan masalah mereka, waktu itu aku berpikir seperti itu. Memang bukan siapa-siapa sih, aku hanya teman dekat Hanif, si mempelai laki-laki.
“San, Sandra. Sini... sini...” Seorang laki-laki melambaikan tangannya padaku dari seberang ruangan. Ternyata Erik, teman kerja Hanif. Aku hanya memberi tanda untuk menunggu sebentar.
“Apaan sih, Rik?” Aku berbisik saat sudah ada di sampingnya.
“Kamu di sini aja duduknya. Nemenin aku biar nggak keliatan sendiri-sendiri gitu.”
“Kamu ngomong kayak gitu, berasa aku sama kamu ada hubungan apa gitu.”
“Kalo sekarang sih emang belum ada. Tapi, nanti-nati juga pasti ada kok.”
“Omonganmu emang udah ngawur dari bawaan lahir ya, Rik?”
“Aku serius kok kalau yang ini, San. Serius, beneran serius aku. Kamu nggak percaya juga sama aku ya? Aku itu...”
“Ssttttt... akadnya udah mau mulai.” Aku menghentikan percakapan kami. Kalau nggak kayak gini, Erik pasti bakal makin maksa omongannya.
Ini memang baru pertama kalinya aku mengikuti prosesi akad nikah dengan cara Islam. Lantunan doa-doa mulai dibacakan. Aku lihat Hanif tegang, raut wajahnya jadi aneh. Anak itu memang dari dulu selalu kayak gini, nggak bisa menutupi rasa tegangnya di depan orang. Aku masih inget juga waktu dia banyak salah bicara saat presentasi di depan kelas umum. Aku pikir kebiasaannya itu sudah membaik, tapi sepertinya dia benar-benar tegang hingga efeknya jauh lebih parah sekarang. Ahahahaa... Rasanya aku hampir saja tertawa guling-guling di sini, kalau tidak ingat ini prosesi sakral sahabatku itu.
“Saya terima nikah.....”
Ah, akhirnya kalimat sakral itu dia ucapkan dengan mantap. Mendengar suaranya itu, hatiku tergetar, benar-benar tergetar. Tanpa sadar air mataku sempat menetes dan buru-buru aku hapus. Sahabatku kini sudah resmi bertanggung jawab atas wanita yang dia cintai sepenuh hati. Kalau mengingat segala perjuangannya dulu, aku merasa sangat lega dia sudah sampai di posisi ini. Selamat untuk melanjutkan perjalananmu yang baru ya, Hanif.
“Wah, yang sudah jadi ‘suami’. Pasti seneng nih.” Erik melangkah ke arah Hanif, setelah antrian para tamu yang ingin memberikan selamat selesai.
“Rasanya lega, Rik.” Hanif menghela nafasnya dan mengelus dadanya sendiri. “Eh, San kamu kenapa? Sandra!”
“Ah, enggak. Aku nggak papa kok.” Aku mencoba menghapus air mata yang lagi-lagi menetes.
“Mbak, jangan nangis gitu dong...” Nita yang berdiri di samping Hanif mulai terlihat khawatir.
“Ahhh... gara-gara kalian nih, nggak bisa berhenti air matanya... huhuu...”
“Ahahahaa...” Ah, akhirnya malah mereka ketawa bareng-bareng gini.
“Sini, sini.” Hanif membuka tangannya dan merangkulku, membawaku menangis dipundaknya. Aku memeluknya dan memuaskan tangisku.
Aku berbisik sesaat sebelum melepaskan pelukan terakhir untuk sahabatku ini, “Sekarang kamu sudah punya tanggung jawab yang harus kamu bawa hingga ke surga.” Aku melangkah mundur dan meninju ringan pundaknya, lalu berkata, “Biarlah aku nangis sekarang, tapi jangan pernah berani buat Nita nangis lho!!”
“Ahahaa... iya iya.” Hanif mengacak-ngacak rambutku kali ini.
“Nita, maaf ya, harusnya aku nggak nangis gini.” Aku memeluknya kali ini. Kemudian, berbisik, “Jangan pernah bosan sama si keras kepala ini ya!!” Nita hanya mengangguk menjawabku.
“Ah, sudah-sudah. Kok malah nangis-nangisan gini sih. Nggak seru ah.” Erik merangkul pundakku kali ini, mencoba menenangkanku.
“Ah, ini juga kan nangis haru, Rik, haru.” Aku mencoba membela diri.
“Iya, iya. Aku ngerti kok.” Erik membelai rambutku dan mengeratkan rangkulannya. Entahlah, kali ini aku tak melawannya.
Kehadiran Erik dalam hidupku bukannya tanpa arti, hanya saja mungkin aku sendiri yang belum mengijinkannya masuk lebih dalam. Dia memang orang baik, sama seperti yang dikatakan Hanif saat memperkenalkannya. Tapi, dalam kamusku, baik saja tidak cukup. Entahlah, mungkin waktunya saja belum tepat atau mungkin aku saja yang belum mau membuka hatiku. Sampai saat ini, aku hanya bisa menganggapnya sebagai teman dekat, tidak lebih.
“Semalam, Hanif cerita banyak hal.” Sambil membawa cemilan di tangannya, Erik duduk disampingku saat resepsi berlangsung siang harinya.
“Ha? Cerita apa?” Aku menengok heran ke arahnya dengan tatapan serius.
“Cerita tentang kalian. Tentang perkenalan kalian, tugas yang kalian kerjakan bersama, persahabatan kalian, kedekatan kalian, sampai bagaimana kamu mendukung hubungan mereka berdua. Dia sangat mencemaskan keadaanmu akan bagaimana jika dia telah menikah nanti. Kalian nggak akan bisa tiba-tiba pergi keluar berdua lagi kan hingga tengah malam.”
“Dia bicara hingga ke arah sana? Aku rasa dia nggak perlu mengkhawatirkanku sampai sebegitunya.”
“Kamu sama Hanif itu, dulu sama-sama nggak punya teman yang bisa diajak keluar-keluar kan, makanya kalian bisa sedekat ini. Saling berbagi keresahan dan rahasia. Buatku nggak heran kalau dia juga khawatir padamu. Yah, apalagi kamu juga belum sepenuhnya menerima kehadiranku kan, San?”
“Aku nggak bermaksud menjaga jarak sama kamu kok, Rik. Kamu itu orang baik dan aku sadar itu. Kamu orang yang direkomendasikan teman dekat yang sangat mengerti aku ini seperti apa. Aku sedang mencoba, tapi aku juga butuh waktu kan?”
“Untuk melupakan perasaan kalian berdua?”
“Maksudmu? Apa Hanif bercerita hingga tentang hal itu juga?” Aku menatap Erik dengan serius.
“Ya, dia bercerita tentang hubungan kalian. Rasa saling menyayangi yang bukan lagi antar teman. Kalian saling menyukai kan?”
“Itu cerita lama. Saat itu, dia hanya terlalu putus asa untuk mengejar Nita. Dia datang padaku, mengeluh dengan jengkel dan itu kacau sekali. Saat itu, dia bilang, ‘Kalau aku sukanya sama kamu, pasti lebih gampang ya, San.’ Dan dengan bodohnya, aku menjawab, ‘Kalau memang lebih baik begitu, kenapa nggak kita coba aja pacaran.’ Aku benar-benar merasa bodoh saat itu.”
“Lalu, kalian sempat pacaran beberapa bulan, kan?”
“Iya, tapi terus aku sadar, aku sendiri nggak cukup sabar buat nanggepin manjanya dia. Dia juga kadang jadi lebih suka marah-marah nanggepin egoku. Waktu itu malah jadi benar-benar kacau. Emang sih, nggak pernah lama kok kita marahan, soalnya sadar kalau emang saling butuh. Kita sama-sama merasakan kenyamanan yang nggak kita dapetin dari orang lain. Rasanya pingin bareng-bareng terus, kadang saling kangen. Berasanya manis banget ya waktu itu. Tapi, kita sadar kok hubungan kita itu nggak mungkin bertahan selamanya.”
“Gara-gara agama?”
“Gara-gara kepercayaan. Tuhanku dan Tuhan dia itu beda. Apa yang kami percaya itu beda. Nggak pernah ada jalan damai untuk kami. Hal ini sudah cukup untuk menyadarkan kami berdua saat itu. Aku dan Hanif bukan anak kecil lagi waktu itu, sudah bisa mikir yang lebih realistis soal hubungan kayak gitu.”
“Terus, kenapa kamu juga mau aja lepasin dia?”
“Aku mungkin lebih suka bilang kalau kami berdua sudah berusaha sebisa mungkin, tapi rasanya itu cuma kebohongan yang menghibur. Kami sama-sama menyerah dengan gampangnya kok sama ketentuan Tuhan. Aku sayang sama dia, sama seperti dia sayang sama aku. Tahu kenyataan itu saja sudah cukup menyenangkan.” Aku mengangguk-angguk sendiri, meyakinkan kata-kataku pada Erik.
“Makanya, waktu tahu aku seagama sama kamu, dia jadi semangat ngenalin kamu ya? Jadi itu sebabnya. Aku dulu penasaran banget, perempuan kayak apa kamu itu, sampai si Hanif sebegitu sayangnya sama kamu. Sekarang aku tahu kok, kenapa Hanif bisa seperti itu. Aku cukup tahu perasaannya.”
“Gombalanmu nggak bakal mempan ya.” Aku menunjuk wajahnya, memperingatkan.
“Bukan gombal kok.” Erik menurunkan tanganku dan menggenggamnya. “Kamu itu memang dari luar kelihatan judes dan keras kepala, tapi kamu juga orang baik, San. Kamu orang yang bisa diandalkan, bukan orang sembarangan bisa kita temuin sehari-hari. Kamu itu perempuan keras yang siap jadi support kokoh, tapi juga nggak melupakan kelembutanmu yang seperti kakak itu. Kamu itu tetap seorang perempuan, San.” Aku menundukkan wajahku, menutupi mataku yang berkaca-kaca. Erik mengencangkan genggaman tangannya dan air mataku sempat menetes.
Setelah sejenak menenangkan diri, aku menegakkan kepalaku dan melepaskan genggaman tangan Erik. Saat itu, aku sadar, mungkin aku telah menemukan seseorang yang baru. Seseorang mungkin saja mau mengenalkanku dengan baik. Mau mendengarkan segala keluh kesahku lebih dari Hanif. Seseorang yang mungkin saja telah memperhatikanku selama ini. Tapi, rasanya aku telah berbuat jahat. Tanpa memperhatikan ketulusannya ini, aku malah sibuk dengan duniaku sendiri, memikirkan diri sendiri, dan menganggap dirikulah yang paling menderita.
“Mungkin ini bukan waktu yang tepat buat kita ngomongin ini. Tapi, Rik, kalau waktu aku balik nanti dan perasaanmu masih sama, aku mungkin bakal lebih mudah menerimanya.” Aku akan coba buat menyukaimu, Rik. Aku harap aku bisa melakukan ini semua untuk menyambut perasaanmu.
“Balik? Kamu mau kemana?” Kali ini Erik yang menatapku heran.
“Kamu yang pertama tahu selain keluargaku. Bulan depan, aku bakal pergi ke Jepang ngambil pendidikan S2-ku. Aku dapat beasiswa ke sana. Mungkin bakal balik dua sampe tiga tahun lagi.”
“Dua, tiga tahun, kan? Aku bakal nunggu. Bakal nungguin kamu, San. Aku janji.” Ah, dasar Erik, ngomongin hal serius macam ini malah pasang wajah serius khas anak kecil sambil ngangkat dua jarinya kayak gini.
“Iya, iya. Aku tahu kok.” Kali ini aku yang menurunkan tangannya dan menggenggamnya. Aku rasa aku memang sudah menemukannya.
“Ah, kita foto sama mereka yuk. Udah kosong tuh.” Tiba-tiba, Erik menunjuk ke arah mempelai dan menarikku berdiri. Dia menggandeng tanganku dan menuntunku ke atas panggung.
“Wah, sekarang sudah pake gandengan segala!” Hanif heboh dari atas panggung sambil nunjuk-nunjuk kami berdua.
“Iyalah, kemajuan ini namanya. Masa iya, udah dua tahun lho ini, dua tahun. Ahahahaa...” Dasar Erik kok malah bangga gitu sih.
“Ah, aku mau di sebelah Hanif aja.” Aku melepas tangan Erik dan berlari merangkul lengan Hanif. Lalu, berbisik, “Nanti aku juga bakal ada di posisi kalian berdua kok, tenang aja. Aku sayang kalian.” Hanif sempat menengok dan hanya aku jawab dengan tersenyum, senyuman termanisku untuknya.
“Yak, cheerrsss.....!”

Hari ini aku bahagia, aku seneng banget. Akhir dari kisah lama dan awal yang baru telah kami buka. Hari pernikahan sahabatku, hari dimana aku melepaskan rasa cintaku yang terpendam, hari dimana aku menyadari keberadaan cinta yang lain untukku, dan hari dimana aku bertekad untuk menerima orang baik ini beserta cintanya untukku.