Laman

Jumat, 27 Juli 2012

Cerpen : Penantian


        Penantian itu berat, tidak mudah dilewati, dan tidak mudah dihadapi.  Sampai hari ini pun, aku tidak mengerti pada jalan pikiranku yang terus melakukan satu hal gila itu. Penantian. Kadang kala aku berkata pada diriku sendiri tentang keyakinanku pada penantian ini. Namun, dalam hatiku sendiri, aku belum menemukan satu pun jawaban yang memuaskan pikiranku itu. Hati dan pikiranku memang tak pernah kompak soal ini. Bertentangan dan selalu saja bertentangan. Entah ada apa dengan diriku ini.
         “Hera. Mau ikut keluar nggak? Aku sama yang lainnya mau belanja bulanan nih. Atau mau titip sesuatu mungkin?” Suara Eka, teman satu kost-kostanku, membuyarkan pikiranku yang sedang fokus dengan tugas akhir yang sudah sejak tadi ada di hadapanku ini.
          “Enggak ahh. Aku lagi ada tugas nih. Lagian Mas Revan bilang dia mau kirim email hari ini. Ada kabar bagus katanya.”
        “Mas Revanmu itu mulu yang dijadiin alasan. Emang nggak capek ya nungguin tu orang sampe tiga tahun kayak gini.” Sambil nutup pintu kamarku mulut Eka nggak berhenti ngomel.
         Ya, memang sudah tiga tahun ini aku hanya berhubungan lewat internet dengan kekasihku, Mas Revan. Entah apa yang merasukiku sampai-sampai aku mau menantikan kehadirannya kembali yang entah kapan akan terjadi. Dia mungkin tipe cowok jaman sekarang yang terlalu kaku, atau mungkin juga polos, tapi masalah otak jangan ditanya. Karena asetnya yang satu itu, setelah lulus dari universitas, yang sama dengan tempatku menimba ilmu sekarang, tiga tahun lalu dia langsung mendapatkan penawaran pekerjaan dari perusahaan asing dan sekarang bekerja di Jerman. Selain asetnya yang berharga tinggi itu, wajah yang kalem dan senyumnya yang selalu membuat kerisauanku hilang, mungkin itu semua yang membuatku tetap kukuh pada penantian ini.
         Setelah bosan dengan tugas akhir yang belum kunjung berakhir ini, aku mencoba membuka email. Ada satu kiriman dari mas Revan yang masuk, cepat-cepat saja aku buka. Saat membaca setiap kata-kata yang dia kirimkan, hatiku terasa sesak. Apakah ini akhir dari penantianku atau mungkin ada sesuatu yang salah? Aku mulai berharap hari yang dijanjikannya pada email yang satu ini cepat saja datang. Namun, entah mengapa ada perasaan aneh yang menjalar dalam diriku ini. Darimana datangnya, aku tidak tahu.
        Seminggu telah aku lewati dengan perasaan aneh yang terus menggelanyuti hatiku sejak kubaca email kiriman mas Revan itu. Sekarang aku sedang berdiri menantikan kehadirannya di bandara. Menantikan sosoknya segera ada di hadapanku memang terasa begitu aneh, apalagi  setelah tiga tahun tak pernah menatap dirinya secara langsung. Aku takut kami akan menjadi dingin dan canggung. Namun semua ketakutanku itu sirna sudah ketika ia keluar dari pintu kedatangan, melambaikan tangan kepadaku, dan segera memelukku denga begitu hangat. Dulu ia tidak pernah melakukan hal-hal macam pelukan hangat seperti ini padaku, tiga tahun di Jerman ternyata telah memberi sedikit perubahan padanya.
       “ Loh, ternyata gadisku sudah tambah dewasa dan tambah cantik ya? Rugi aku meninggalkan kamu selama tiga tahun.”
        “Ah, mas ini. Tiga tahun kan bukan waktu yang sebentar untuk merubah penampilan. Karena ditinggal Mas selama itu, aku jadi punya waktu lebih untuk dandan.”
        “Oh iya-ya. Kamu bener juga Dik. Pasti banyak yang mulai deketin kamu ya Dik. Tapi belum ada yang menarik hatimu kan, Dik?” Ada sedikit nada khawatir pada kata-katanya yang terakhir itu. Matanya pun memancarkan perasaan yang sama dan terus menatapku penasaran.
         “Aku kan gadisnya Mas yang paling setia. Tenang aja Mas, belum ada yang seperti  Mas kok.” Aku mencoba menenangkannya sambil menggandengnya untuk mengajaknya segera melangkah ke tempat taxi-taxi yang berjajar. Setelah dari bandara ini kami akan langsung menuju rumah keluarga Mas Revan.
         Di perjalanan tidak banyak yang kami perbincangkan, hanya seputar pekerjaan mas Revan ataupun kuliahku selama kami terpisahkan jarak selama tiga tahun. Hanya saja sesekali dia menggenggam tanganku lebih erat dari biasanya. Aku mulai menyadari  bahwa dia merindukanku melebihi  kerinduan yang aku pendam selama ini. Senyumnya memang tak pernah berubah, masih sama tenteramnya seperti dulu. Namun, penampilannya saat ini jauh lebih menarik dari sebelum dia meninggalkan negara ini, mungkin karena rambutnya yang lebih bergaya dan keren. Apalagi cara berpakaiannya pun sudah tidak sekuno dulu lagi. Tak salah aku memperbaiki penampilanku selama ini. Coba kalau aku masih tetap pada gayaku yang cuek, pasti kebanting dengan gaya mas Revan yang sudah sekeren ini.

         Sesampainya di rumah keluarga besar mas Revan, semuanya sudah menunggu. Ibu, panggilanku untuk ibu mas Revan, sudah mempersiapkan segala macam makanan khas Jogja untuk anak laki-laki tertuanya ini. Ya, mas Revan adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Mbak Asti, kakak mas Revan, sudah menikah tiga tahun lalu sebelum mas Revan berangkat ke Jerman dan Radit, si anak bungsu, satu tahun lebih muda dariku dan merupakan adik angkatanku di kampus. Sedangkan bapak, yang langsung berdiri dari duduknya untuk menyambut anak laki-laki kebanggaannya, masih bekerja disebuah instansi pemerintahan di Jogja. Keluarga ini sungguh hangat. Mereka mampu membuatku betah berada diantara mereka, walaupun aku adalah orang luar saat ini. Bahkan selama mas Revan ada di Jerman aku tetap disambut hangat oleh mereka, terutama ibu yang sudah kuanggap seperti mamaku yang harus meninggalkanku ketika aku berumur enam belas tahun karena kanker yang menyerangnya selama tiga tahun lebih.
      Hidupku memang terasa kembali bersemangat sejak kedatangan mas Revan, dapat menyandarkan sedikit beban tugas akhir yang harus aku selesaikan secepatnya. Paling tidak keceriaanku bertambah, walau kami hanya punya waktu selama seminggu. Waktu yang terasa begitu singkat bagiku yang menanti selama tiga tahun lamanya. Apalagi tidak hanya aku yang harus mas Revan temui. Masih banyak sanak saudara dan sahabat-sahabatnya ,yang sama sepertiku, menginginkan bertemu langsung dengannya. Sebisa mungkin aku mendampinginya jika aku tidak ada kegiatan perkuliahan. Mas Revan memang tidak mau hubungan kami ini mengganggu urusan kuliah dan karir kami masing-masing, komitmen yang masih terjaga diantara kami. Dukunganlah yang paling penting dalam hubungan kami ini, hal macam inilah yang kami terapkan dari awal.
        “Dik. Besok Mas harus sudah balik lagi ke tempat kerja. Maaf ya kalau Mas nggak bisa nemenin lama-lama di sini. Masih ada tanggung jawab lain yang harus Mas selesaikan. “ Mas Revan membuka pembicaraan saat kami tengah berjalan menyusuri pantai di sore itu.
      “Iya, Mas. Aku tahu kok. Mas tenang aja. Aku ngerti.” Walau terasa agak berat sebenarnya melepaskan Mas Revan yang baru beberapa hari ada bersamaku.
        “Tapi Mas janji, Dik. Mas akan pulang secepatnya.” Aku hanya mengangguk mengiyakan kata-katanya. Entah apa yang kurasakan, tapi aku hanya mampu terdiam tanpa berkata apapun dan hanya mengikuti jejak-jejak langkah kakinya. Aku merasa aneh sore ini, merasakan ketidakrelaan yang besar untuk melepaskannya. Aku sendiri hanya mampu menghela nafas berat untuk menenangkan diri dan mengeratkan genggaman tanganku pada tangan mas revan yang terasa lebih hangat.
Jawaban dari perasaan aneh sore itu terjawab sudah dengan kabar yang aku dengar sendiri dari kata-kata Radit. Jawaban yang aku sendiri tidak pernah mau mendengarnya. Tidak pernah mau mengetahui hal macam ini kalau aku bisa. Seketika memang semuanya menjadi buram dan kemudian tubuhku lemas dengan gelap yang melingkupi saat itu juga. Tak pernah menyangka semua ini akan terjadi padaku lagi dan yang aku tahu ketika aku terbangun hanyalah air mata yang membanjiri hariku dengan kejamnya pada hari ini. Karena, keesokan harinya air mataku telah habis untuk mengantarkannya pada tempat tujuan terakhir.
Aku hanya sanggup bersandar pada tubuh Eka, yang tanpa pernah terlihat lelah akibat menemaniku sejak aku jatuh pingsan kemarin. Ya, hari ini aku menyaksikan sendiri tubuh laki-laki yang aku sayangi dibaringkan di tempat peristirahatan terkhirnya, setelah dengan perjuangan kerasnya melawan segala luka parah yang diderita akibat kecelakaan sebelum ia berangkat ke bandara. Semuanya terasa begitu cepat bagiku untuk merasakan kehilangan lagi dalam hidupku. Satu-satunya obat yang sedikit mengurangi rasa sakitku hanya sebuah catatan kecil yang tertulis pada buku catatan Mas Revan.

“Andaikan aku tidak bisa membalas segala penantian terbaik yang ia berikan untukku Yaa Tuhan, biarkanlah ia menemukan seseorang yang lebih baik dariku”

              Tidak ada yang lebih aku mengerti dalam tulisan itu, kecuali perasaanku yang dibalasnya dengan sepenuh hati. Dan hal ini sudah cukup untuk membalas segala penantian yang telah aku lakukan selama tiga tahun terakhir ini. Semoga jawaban dalam hatiku ini sanggup mengantarkan mas Revan yang telah berangkat lebih dulu ke surga.

Cari Kosan Baru


Teringat dengan awal pertama kali datang ke Jogja. Bukan pertama kali juga sebenarnya, cuma ya sebelum ini numpang lewat doank. Waktu itu niat datang ke Jogja untuk menjadikan Jogja sebagai rumah kedua, alias mau kuliah di sini, Jogja maksudnya. Asing. Nggak ada saudara, kalo temen sih ada. Maklum ya, aku telat setaun, jadi teman-temanku udah di Jogja duluan. Dan pada saat itu  dengan PD-nya bapak udah pesenin kosan, dari sebelum pengumuman SNMPTN. Feelingnya pas banget, tempatnya enak, gak mau pindah-pindah lagi ahh... hehehehe....
Mengingat-ingat itu terkadang buat kita tertawa sendiri, atau malah menangis sendirian di kamar. Terus kenapa aku inget masa2 awal aku di sini??? Semuanya bikin aku tertawa heran, soalnya baru kerasa aja, udah beberapa bulan jadi orang Jogja. Bahkan waktu pulkam ke Pekalongan, kerasanya pingin balik ke Jogja dengan rutinitas anak kosan. Padahal waktu di Jogja malah pingin pulang, malah kadang kala berasa Pekalongan-Jogja itu deket (5-6 jam naik travel biasanya).
Tenang-tenang ini bukan Cuma omong kosong belaka. Hehehee. Aku mau ng-share pengalaman awal anak kosan, apa aja yang dibutuhin untuk pertama kali, dan apa aja yang perlu dilihat dari segala fasilitas kosan  yang ditawarkan.
1.      Kosan Phisically
Yang pertama harus dilihat sebelum ngekos pasti bentukan kamar kosnya. Mulai dari fasilitas yang udah ada sampai kebersihan kamar mandinya. Penting nih buat diperhatikan untuk kelangsungan kebersihan pribadi juga. Soalnya buat orang yang rada-rada males kayak aku, bakal milih kosan yang tanggung jawab kebersihannya dibantu sama orang lain. Jadi, tanggung jawab yang aku pegang ya cuma kamarku aja. Nggak kebanyakan bersih-bersih. hehehee
2.      Aturan kosan
Seberapa ketat aturan kosan juga harus diperhatiin mulai dari siapa aja yang boleh masuk sampai jam malamnya. Kalau ditempat kosanku yang sekarang sih peraturan yang paling menggiurkan buat aku yang lebih seneng bebas ya gak adanya jam malam. Eeiittss... jangan salah sangka dulu, ini semua sih dikarenakan kebebasan untuk bisa ngerjain tugas atau mungkin aja ada kegiatan organisasi diluar yang bisa aja sampe malam. Jadi, gak keburu-buru ngerjain tugasnya. Ya, walaupun jangan keterlaluan juga pulangnya, pasti ditanyain bapak kos juga kalo pulang malem. Masih ada pemantauan dari orang kosan lahh pokoknya.
Oh iya, yang boleh masuk kosan juga gak sembarangan orang. Kalo bukan keluarga, laki-laki dilarang masuk, kecuali dengan alasan-alasan tertentu. Misalnya nih mas-mas tukang galon atau gas, atau bisa juga tukang dan temen yang bantuin pindahan atau benerin sesuatu dikosan. Buat aku sendiri, aturan yang baik itu gak terlalu mengikat tapi tetep ada pengawasan. Paling gak, itu idealnya menurutku secara pribadi.
3.      Barang-barang yang dibutuhin
Liat juga semua fasilitas yang dikasih dari kosan, biasanya sih sesuai dengan harga yang ditawarin. Semakin banyak barang yang udah disediain semakin sedikit barang yang kita harus beli kan? hehehee
4.      Tempat makan
Hal penting lainnya yang perlu diketahui secepatnya setelah menentukan tempat kosan sih, buat aku, ya tempat makan. Sering banget anak kosan itu males makan atau lupa makan Cuma karena tempat makannya jauh. Tapi tenang aja, kalau buat daerah yang banyak kosan, pasti banyak tempat makan. Tapi juga perlu disurvei dulu ya tempatnya, pasti nanti bakalan ada satu tempat yang jadi favorite dan pas sama lidah kita masing-masing. Kalo aku sih sampe butuh sebulanan buat icip-icip tempat makan deket kosan. hehehehehee
5.      Tempat beli barang bulanan
Buat anak kos baru, jangan lupa juga cari toko atau warung yang jual barang kebutuhan sehari-hari. Kan gak setiap hari juga kita bisa ke super market untuk cari kebutuhan yang dadakan harus ada hari itu juga. Jangan lupa tanya-tanya super market mana yang lebih murah untuk barang bulanannya. Namanya juga anak kos. hehehee
6.      Jarak dan waktu ke kampus
Ini juga nih yang bakal jadi pertimbangan penting untuk menentukan kosan mana yang bakal kita pilih. Kita harus tahu dimana kosan dan dimana kampus kita. Jalan yang lebih cepat untuk sampai ke kampus juga harus dicari secepat mungkin. Gak papa lahh kalo awal-awal di tempat baru, nyasar-nyasar dikit gara-gara penasaran.hehehee... *pengalaman pribadi*
Yahhh... untuk sementara sih segini dulu aja sharing pengalamanku. Semoga bermanfaat buat yang relain waktunya buat baca... hehehee... cayoo !!!

Selasa, 03 Juli 2012

Maaf...


Ketika kemarahan menghinggapi hati, tak tahu aku harus berbuat apa. Semua terasa buram dan tak berbentuk. Semuanya benar-benar mengarahkan emosi ini hanya pada diri sendiri. Kemudian, mulai bertanya, “ kesalahan macam apa yang telah kuperbuat? ”. Sekali lagi buram. Aku tak mengerti. Apakah hanya ini kemampuan yang aku miliki? Apakah hanya ini saja yang dapat aku lakukan? Rasanya ingin berteriak. Menyalahkan diri sendiri.
Aku seperti berada pada lembah sempit yang didampingi dua tebing indah. Merasa terjebak pada keindahan  yang tidak dapat dipungkiri. Menyesal itu tak mungkin lagi. Tak berguna. Aku merasa aku sendiri yang menjatuhkan diriku di tempat ini. AAAAAAA.... kenapa semua ini? Dan kemudian aku merindukan kesendirianku yang terasa telah lama menghilang. Kemana aku harus pergi untuk mencarinya? Pertanyaan besar yang entah kapan akan terjawab.
Kalau saja mungkin aku kembali pada waktu aku dapat memilih. Kalau saja. Tapi, akankah aku tahu aku akan memilih yang mana? Keduanya sama-sama indah, sama bermaknanya bagi jalanku. Aku tak mau melepaskan keduanya. Egois, mungkin ya, aku mengakuinya. Serakah? Sudah pasti kata berbeda yang akan muncul kali ini. Dan, sekali lagi aku merasa buram, tak tahu arah.
Aku mungkin memang tak bertanggung jawab. Menyakiti hati banyak orang dengan pilihanku. Tak banyak aku dapat lakukan selain tertunduk lesu. Meminta maaf dengan segala kerendahan hati dan keterbatasanku sebagai manusia. Andai saja mereka mendengarnya. Andai saja mereka mau mendengarnya. Andai saja mereka mau mengerti posisiku yang ada di antara dua tebing indah yang begitu mempesona.

bimbang


Kebimbangan itu menyakitkan
Seperti dedaunan yang terus saja diombang-ambingkan badai
Entah harus tetap bertahan atau menyerah pada ketangguhannya
Posisiku tak pernah jelas dimataku sendiri
Mencoba mencari jawaban atas makian yang menyakitkan
Bimbang...
Semuanya begitu terasa abu-abu
Tak ada yang salah, bahkan dipandanganku sendiri
Tak ada yang pernah menjatuhkan, hanya makian yang tak bertanggung jawab
Semua memaksaku berpikir ulang tentang diriku sendiri
Semua memaksaku membuka mata akan hal yang terhalangi
Perubahan macam apa ini ya Allah yang kau berikan?
Jalan macam apa yang akan Kau terangi untukku?
Haruskah aku merubah apa yang telah ada dan mencari arah lain?
Pandangan, pandangan, dan pandangan
Pikiran, pikiran, dan pikiran
Semua buram...
Dan semua membuatku kembali bimbang