Laman

Selasa, 03 Juni 2014

Curcol : Antara Mimpiku dan Dia

Mengawali apapun itu nyatanya selalu sulit ya? Mau nulis kayak gini aja daritadi aku mikir mau nulis apa duluan. Bolak-balik ngetik, hapus lagi, ngetik lagi, hapus lagi. Capek juga mikirnya. Heheheee... Yah sudahlah, malam ini aku mau ngobrolin soal diriku sendiri. #eeaa. Boleh kan? Ini juga blog-ku. Siapa yang berani ngelarang? #maksa.
Kali ini bahasan mengenai mimpi yang sempat mengabur dari pandanganku dan sayangnya juga berhubungan dengan makhluk yang namanya cowok. #eh? Sempat hilang semangat memulai ceritanya, tapi yah inilah tulisanku. Sekitar 5 bulan lalu, aku terpukau dengan satu di antara banyak makhluk cowok di dunia ini. Mungkin juga masih sama sampai sekarang. #mungkin. Aku sudah bertekad mengakhiri semuanya, bersama berusaha untuk kembali seperti semula walau mungkin sulit. Toh, aku sendiri merasa ini semua hanya emosi sesaat dan rasanya kami berdua tentunya memiliki mimpi masing-masing. Keputusanku untuk melangkah meninggalkan masa-masa itu. Demi kebaikanku sendiri dan sesuai dengan keinginannya. Iya kan? I hope, yes.
Aku merasa drop selama beberapa bulan, walaupun bukan hanya karena kasus itu saja. Tapi, yang namanya menerima penolakan, walaupun dengan cara yang sangat halus sekalipun, tetap saja sakit. Apakah aku menangis? Tentu saja. Tapi, aku sendiri heran, aku tak menangis sebanyak yang aku bayangkan sebelumnya. Mungkin karena ini juga memang keputusanku dan aku siap menerima segala keputusannya saat itu.
Hal menarik terjadi setelahnya, aku malah merasa aku jadi punya semangat untuk perbaikan diri. Aku menata lagi bayangan masa depan yang dari dulu aku terus berusaha berlari ke arah sana dan akhir-akhir sempat menjadi kabur dari pandangnku. Kembali menata diri, walau belum sepenuhnya berhasil sekarang. Menata pikiran tentang kuliah yang sudah berantakan dua semester ini. Menata semangat hidup yang pernah hilang. Rasanya seperti punya waktu untuk berhenti sejenak untuk beristirahat. Ya, waktu khusus untuk diri sendiri yang sudah lama hilang. Ada kelegaan yang luar biasa waktu itu. Mungkin itu yang namanya mengikhlaskan. Walaupun dengan cara, meruntuhkan segalanya dahulu untuk dibangun ulang.
Masalah yang aku hadapi mungkin memang bukan cuma kasus dengan cowok itu, tapi aku belajar untuk mengikhlaskan dari situ. Mataku sedikit terbuka. Kalau memang tidak ada kata “saling” dalam perasaan yang aku berikan, maka tidak akan ada kata “kita” dalam hubungan kami. Toh, hubungan antara aku dan dia masih baik-baik saja, jadi apa yang harus disesalkan saat ini. Lalu, aku berandai-andai. Kalau saat itu ada kata “saling”, mungkin aku tak akan belajar banyak. Aku tak akan belajar untuk menahan sifat egoisku. Aku tak akan mengerti arti ikhlas. Aku tak akan masuk dalam masa perbaikan seperti saat ini. Walau saat ini tak ada kata “kita”, aku sudah senang dengan semua ini. Terima kasih, Mas... J
Setelah semuanya menjadi seperti ini, aku menyadari bahwa kami memiliki mimpi masing-masing. Dia bilang belum ingin terikat dan masih ingin bebas. Mungkin maksudnya masih banyak juga hal yang ingin dia capai dan pikirkan selain masalah macam ini. Tapi, aku juga jadi membuka mataku lebar-lebar, aku masih punya banyak mimpi dan tanggung jawab yang masih harus aku tanggung. Aku sendiri yang sejak dulu menghindari hal-hal macam ini untuk fokus pada mimpiku saja. Sayang sekali saat itu aku goyah hingga menjatuhkan harga diri sendiri. Tapi sudahlah, kalau tidak ada kejadian itu aku kan tidak akan seperti sekarang. Lebih kokoh berdiri seperti ini, lebih indah untuk diperhatikan, lebih menarik untuk dikenali, lebih dewasa memandang hidupku sendiri. #narsis
Saat ini, mimpiku tak akan berhasil kalau hasil kuliahku masih seperti ini. Aku harus berlari lebih kencang lagi untuk kali ini. Rasanya memang lelah, tapi aku yakin hasilnya juga pasti akan setimpal. Semester depan juga harus lebih fighting lagi nihh... Yeeaahhhh.... Sebentar lagi selesai kok dan harus siap-siap mengawali dunia yang baru. Jeng..Jeng...Jeng....  Ah, rasanya udah nggak sabar. J
Masih ada hal yang masih ingin aku lakukan. Jalan-jalan sendirian. #eeaa. Kalau sekarang jalan-jalan sendirian cuma baru bisa di sekitaran sini aja naik motor. Kalau besok, aku mau jalan-jalan sendirian ke Thailand, Singapur, Jepang, London, Madrid, Australia, dan S2 di Spanyol. S2 mau sendirian? Iyalah, kan ke sana juga mau cari cowok sekalian. Ahahahaa... Nggak puas ahh kalau lihatnya yang di sini-sini aja. #jiiaahh Sombongnya, padahal nggak ada yang mau juga di sini. *langsung murung* hehehee....
Yah, jadi keinget obrolan sama teman tentang memilih antara mimpi atau cinta. Banyak cerita di drama atau novel romance, tokohnya lebih memilih membatalkan atau menunda kepergiannya untuk bersama orang yang disukainya. Aku nggak pernah paham hal itu, mungkin karena memang aku belum merasakannya sendiri. Kenapa nggak jadi pergi? Itu kan mimipinya yang udah lama direncanain? Kan masih bisa nunggu selesaiin mimpinya dulu kan? Kenapa harus kayak gitu? Kenapa harus milih? Kenapa nggak dua-duanya dijalanin? Yah, kalau logikaku cuma nyampe ke jawaban, “biar ceritanya lebih seru dan lebih menyentuh tentang cintanya”. Tapi temanku bilang, “Karena selalu ada mimpi yang lebih penting, Rin.” Jadi, lebih tepatnya cintanya saat itu adalah mimpi yang lebih penting bagi si tokoh daripada mimpinya sendiri. Bingung? Saya juga, masih mikir soal itu kok. #sama
Jawaban menarik lainnya, aku dapat dari sebuah serial komik Seiho Boy’s High School yang aku baca kemaren. Ada percakapan yang diucapkan tokoh laki-laki saat tahu pacarnya akan pergi keluar negeri untuk waktu yang lama demi mimpinya. Kata-katanya secara dramatisnya kira-kira seperti ini.

“Aku disandingkan bersama mimpimu sebagai pilihan untuk masa depanmu. Bukankah itu berarti aku juga berharga untukmu. Itu sudah membuatku senang. Aku tak akan mengantarkan kepergianmu. Aku tak akan memintamu untuk menjadi pacarku kembali saat ini. Tapi, jika suatu hari kita bertemu lagi dan kau masih seperti kau yang sekarang, aku akan memintamu menjadi pacarku. Bukan lagi hanya untuk sementara, tapi untuk selamanya menjadi milikku. Aku mencintaimu. Selamat tinggal.”

Setelah kata-kata itu, si tokoh perempuan yang dingin dan angkuh memang menangis sejadi-jadinya. Tapi kemudian, dia bisa pergi dengan lebih tenang untuk meraih mimpinya di tempat yang jauh dan tanpa pacarnya itu. Menyelesaikan segala yang masih mengganjal dan melangkah lebih tenang. Mungkin itu juga yang aku rasakan sekarang. Ya kan, Mas?
Mau dibilang seperti apapun, aku dan dia masih berhubungan dengan baik. Walau mungkin semuanya belum kembali seperti semula seutuhnya. Tapi langkahku sudah lebih ringan. Aku harap dia juga seperti itu. Mari meraih mimpi masing-masing yang masih menggunung ini. Jika suatu hari nasib mempertemukan “aku dan kamu” kembali dalam keadaan yang memungkinkan untuk menciptakan kata “saling” dalam hubungan ini, maka aku tak akan segan-segan untuk mewujudkan kata “kita” dari kata “aku dan kamu”. Hehehee...

Yah, mau dibilang seperti apapun, aku memang masih berharap. Tapi, aku senang, langkahku sudah lebih ringan dan tenang sekarang. Aku bisa lebih fokus untuk lari menuju mimpi karena mimpi itu tak pernah menjauh dan hanya aku yang bisa memutuskan akan mendekat atau menjauh darinya. Kamu mungkin masih bisa menjadi mimpiku, tapi mungkin belum menjadi yang utama untuk sekarang karena masih ada mimpi lain yang lebih penting. Atau mungkin kamu mau membicarakan ulang tentang ini dan bersiap untuk saling menunggu. Hanya itu yang aku pikirkan sekarang. J