Laman

Sabtu, 10 Desember 2016

Aku Kembali Pada Pantai




Menapaki tepian laut tanpa beralas kaki, merasakan gelitik pasir di sela-sela jemari. Aku memandang samudera luas yang terhampar bergelombang. Bosan. Aku jenuh dengan air berwarna biru yang sesekali dengan riaknya membawa ikan-ikan kecil kepinggiran. Aku jenuh dengan suara burung-burung yang berterbangan mengantarkan matahari menghilang dikala senja. Aku pun jenuh dengan pelangi yang sesekali muncul di atas tebing saat pagi menjelang.

Aku terduduk di atas tebing sejenak memperhatikan bayangan diri di permukaan air dengan penerangan sang malam. Cahaya bulan purnama membantuku bercermin, mencoba mengerti akan keberadaan diri ini. Rambutku ikal sebahu dengan warna kemerahan terbentuk dari teriknya matahari. Kulit tubuhku tak mungkin seputih salju, tak mungkin pula kuning langsat yang menggoda. Tapi inilah aku, bermata cerah dengan hiasan bulu mata lentik yang melengkapi wajah tirusku. Ketajaman wajahku ditunjang oleh menjulangnya hidung yang tercetak indah.

Keindahanku adalah menarikku, namun jadi tak menarik lagi bagiku saat melihat rambut panjang berkilau diterpa sinar mentari. Aku tak mengenalnya, tapi aku tertarik mengenalnya. Aku mendekat tanpa sadarku. Memperhatikan kulit kuningnya yang kontras dengan warna hitam kelam mahkotanya yang tergerai. Aku ingin tahu tentangnya karena yang aku tahu pasti bahwa dia tak seperti diriku, dibesarkan oleh pantai. Aku mengagumi dirinya dan keindahannya.

Dia menengok dan tersenyum membuatku tersentak sesaat. Wajahnya tak setirus milikku dengan pipi merona yang tulang yang terangkat membuat senyumnya terlihat tulus. Aku memperhatikan matanya dibingkai rapi oleh alis tipis alaminya. Wajahnya tak tajam tapi malah sebaliknya keramahan melingkupi setiap bagian wajahnya. Bahkan bibir mungil merahnya membuatku makin terkagum-kagum pada keindahannya. Keindahan yang tak pernah aku tau dan tak pernah pantai ajarkan padaku.

Kami berjabat tangan menandakan perkenalan dan aku pun merasakan kelembutan kulitnya. Warna kontras yang terlihat pada pertemuan kedua tangan membuatku menyadari berbedaan asal-usul yang kami bawa dalam kehidupan dunia. Namun, hal ini membawa rasa penasaranku lebih dalam. Bukan hanya ingin mengetahui dirinya, aku ingin mengetahui tempatnya berasal yang dia sebut gunung. Dataran menjulang tinggi yang tak seperti pantai landai berbatas riak lautan.

Aku tertarik melangkah mengikuti kepulangannya, meninggalkan teriknya matahari pantai yang sesaat kemudian menjadi jingga dan membawa senja datang. Udara sesaat terasa menyesakkan dengan hawa dingin yang menyelimuti kulitku. Sejenak aku merindukan hangatnya pantai, tapi aku pun menginginkan keindahan yang diberikan gunung untuknya. Bulat tekadku untuk meninggalkan pantai dan mengejar keindahan gunung. Sesaat aku mengkhianati pemberian pantai padaku.

Hari-hariku berlalu dengan mengenal gunung dan mengubah diriku sesuai dengan ajarannya. Aku bersuka cita dengan sejuknya pagi yang tak lagi menyesakan nafasku. Mataku mencintai hamparan hijau dedaunan hingga dataran lembah yang entah berniat menyatukan atau memisahkan. Lenggokan aliran sungai serasa menari dengan alunan musik alam yang dinyanyikan burung-burung dan serangga gunung yang mengiringi. Aku mencintai tempat ini dan menerima keindahannya hingga tak terhitung banyaknya bulan purnama yang telah terlewatkan.

Perubahanku akan keindahan yang diberikan oleh gunung semakin nyata dengan kulit tubuhku yang berubah kuning langsat. Aku memperhatikan diriku yang terpantul pada permukaan danau yang tenang. Menganggumi keindahan tubuhku yang baru, tetapi kemudian aku murung. Bertanya-tanya pada diri tentang tak adanya perubahan pada setiap kontur yang telah diberikan oleh pantai padaku. Aku mengambil nafas panjang dan dia yang kukagumi berbisik padaku untuk bersabar karena setiap perubahan membutuhkan waktu.

Dia yang kukagumi selalu mengiringi langkah perubahanku, menyemangati setiap hari yang aku lewati untuk meminta keindahan gunung yang telah terpatri padanya. Aku tak pernah berpikir bahwa kekagumannya padaku, yang selalu diucapkannya dulu, semakin memudar dengan hilangnya keindahan pantai padaku. Cerita-cerita yang terucap dari bibir merah mungilnya bukan lagi untuk memujiku, tapi mengungkapkan kekaguman pada seseorang asal gunung lainnya. Seseorang yang memiliki keindahan gunung yang sama dengannya. Seseorang yang kemudian mengalihkan mata indahnya dariku. Dari diriku yang mengejar keindahannya dengan meninggalkan gelitikan pasir yang membarengi ombak.

Sekarang aku menyendiri di pinggir danau menunggu kedatangannya, tapi dia tak tampak. Tak lagi menyemangatiku untuk mengejar setiap perubahan yang kutuju. Aku bangkit untuk mencoba menemuinya. Dia menolak. Ku ajak dia kembali mengunjungi pantai dan dia juga menolak. Dia melupakan setiap kata-kata yang pernah terlontar indah dari bibir merahnya. Melupakan setiap pujian pada keindahan dari pantai yang pernah ada padaku. Aku membeku kedinginan di gunung. Aku kembali terpana dengan orang yang kukagumi. Terpana pada perubahan dirinya.

Aku pun kembali bercermin pada air danau dan aku membenci diriku sendiri. Membenci segala keindahan gunung yang telah diberikan padaku melewati banyaknya bulan purnama. Lalu aku pun merindukan pantai dan aku merindukan diriku yang dulu. Namun, air mataku telah membeku bersama dengan kekaguman yang telah menguap hilang.

Aku pun pulang. Meninggalkan segala keindahan yang memang bukan untukku. Aku pun kembali pada pantai yang telah menghiasiku dengan keindahan nyata darinya. Aku kembali pada pasir penggilitik kaki yang kurindukan. Aku kembali pada cahaya fajar yang sesekali dihiasi pelangi. Aku pun kembali pada teriknya mentari yang memberikan warna tubuhku kembali. Rinduku pun terluapkan dengan langit yang berwarna jingga tanda perpisahaan dengan mentari. Aku sadar aku merindukan asalku dan saat itulah air mataku yang beku mengalir membasahi pipi tirusku.

Ditemani cahaya bulan purnama memberikan gambaran jelas diriku di permukaan air laut dan sebuah ungkapan begitu lembut ditelingaku.


“Kau itu sungguh indah. Berlatar ombak lautan yang mendesir pasir dan disinari bulan purnama. Sungguh, kau adalah pemandangan terindah yang pernah kusaksikan. Janganlah kau pergi lagi dariku karena aku pun merindukan keberadaanmu disini.” Lalu ia pun membelai lembut rambut ikal kemerahanku dengan hembusan angin.