Menapaki
tepian laut tanpa beralas kaki, merasakan gelitik pasir di sela-sela jemari.
Aku memandang samudera luas yang terhampar bergelombang. Bosan. Aku jenuh
dengan air berwarna biru yang sesekali dengan riaknya membawa ikan-ikan kecil
kepinggiran. Aku jenuh dengan suara burung-burung yang berterbangan
mengantarkan matahari menghilang dikala senja. Aku pun jenuh dengan pelangi
yang sesekali muncul di atas tebing saat pagi menjelang.
Aku
terduduk di atas tebing sejenak memperhatikan bayangan diri di permukaan air
dengan penerangan sang malam. Cahaya bulan purnama membantuku bercermin, mencoba
mengerti akan keberadaan diri ini. Rambutku ikal sebahu dengan warna kemerahan
terbentuk dari teriknya matahari. Kulit tubuhku tak mungkin seputih salju, tak
mungkin pula kuning langsat yang menggoda. Tapi inilah aku, bermata cerah dengan
hiasan bulu mata lentik yang melengkapi wajah tirusku. Ketajaman wajahku
ditunjang oleh menjulangnya hidung yang tercetak indah.
Keindahanku
adalah menarikku, namun jadi tak menarik lagi bagiku saat melihat rambut
panjang berkilau diterpa sinar mentari. Aku tak mengenalnya, tapi aku tertarik
mengenalnya. Aku mendekat tanpa sadarku. Memperhatikan kulit kuningnya yang
kontras dengan warna hitam kelam mahkotanya yang tergerai. Aku ingin tahu
tentangnya karena yang aku tahu pasti bahwa dia tak seperti diriku, dibesarkan
oleh pantai. Aku mengagumi dirinya dan keindahannya.
Dia menengok
dan tersenyum membuatku tersentak sesaat. Wajahnya tak setirus milikku dengan
pipi merona yang tulang yang terangkat membuat senyumnya terlihat tulus. Aku memperhatikan
matanya dibingkai rapi oleh alis tipis alaminya. Wajahnya tak tajam tapi malah
sebaliknya keramahan melingkupi setiap bagian wajahnya. Bahkan bibir mungil
merahnya membuatku makin terkagum-kagum pada keindahannya. Keindahan yang tak
pernah aku tau dan tak pernah pantai ajarkan padaku.
Kami berjabat
tangan menandakan perkenalan dan aku pun merasakan kelembutan kulitnya. Warna kontras
yang terlihat pada pertemuan kedua tangan membuatku menyadari berbedaan asal-usul
yang kami bawa dalam kehidupan dunia. Namun, hal ini membawa rasa penasaranku lebih
dalam. Bukan hanya ingin mengetahui dirinya, aku ingin mengetahui tempatnya
berasal yang dia sebut gunung. Dataran menjulang tinggi yang tak seperti pantai
landai berbatas riak lautan.
Aku tertarik
melangkah mengikuti kepulangannya, meninggalkan teriknya matahari pantai yang
sesaat kemudian menjadi jingga dan membawa senja datang. Udara sesaat terasa
menyesakkan dengan hawa dingin yang menyelimuti kulitku. Sejenak aku merindukan
hangatnya pantai, tapi aku pun menginginkan keindahan yang diberikan gunung
untuknya. Bulat tekadku untuk meninggalkan pantai dan mengejar keindahan
gunung. Sesaat aku mengkhianati pemberian pantai padaku.
Hari-hariku
berlalu dengan mengenal gunung dan mengubah diriku sesuai dengan ajarannya. Aku
bersuka cita dengan sejuknya pagi yang tak lagi menyesakan nafasku. Mataku mencintai
hamparan hijau dedaunan hingga dataran lembah yang entah berniat menyatukan
atau memisahkan. Lenggokan aliran sungai serasa menari dengan alunan musik alam
yang dinyanyikan burung-burung dan serangga gunung yang mengiringi. Aku
mencintai tempat ini dan menerima keindahannya hingga tak terhitung banyaknya
bulan purnama yang telah terlewatkan.
Perubahanku
akan keindahan yang diberikan oleh gunung semakin nyata dengan kulit tubuhku
yang berubah kuning langsat. Aku memperhatikan diriku yang terpantul pada
permukaan danau yang tenang. Menganggumi keindahan tubuhku yang baru, tetapi
kemudian aku murung. Bertanya-tanya pada diri tentang tak adanya perubahan pada
setiap kontur yang telah diberikan oleh pantai padaku. Aku mengambil nafas
panjang dan dia yang kukagumi berbisik padaku untuk bersabar karena setiap
perubahan membutuhkan waktu.
Dia
yang kukagumi selalu mengiringi langkah perubahanku, menyemangati setiap hari
yang aku lewati untuk meminta keindahan gunung yang telah terpatri padanya. Aku
tak pernah berpikir bahwa kekagumannya padaku, yang selalu diucapkannya dulu,
semakin memudar dengan hilangnya keindahan pantai padaku. Cerita-cerita yang
terucap dari bibir merah mungilnya bukan lagi untuk memujiku, tapi
mengungkapkan kekaguman pada seseorang asal gunung lainnya. Seseorang yang
memiliki keindahan gunung yang sama dengannya. Seseorang yang kemudian
mengalihkan mata indahnya dariku. Dari diriku yang mengejar keindahannya dengan
meninggalkan gelitikan pasir yang membarengi ombak.
Sekarang
aku menyendiri di pinggir danau menunggu kedatangannya, tapi dia tak tampak. Tak
lagi menyemangatiku untuk mengejar setiap perubahan yang kutuju. Aku bangkit untuk
mencoba menemuinya. Dia menolak. Ku ajak dia kembali mengunjungi pantai dan dia
juga menolak. Dia melupakan setiap kata-kata yang pernah terlontar indah dari
bibir merahnya. Melupakan setiap pujian pada keindahan dari pantai yang pernah
ada padaku. Aku membeku kedinginan di gunung. Aku kembali terpana dengan orang
yang kukagumi. Terpana pada perubahan dirinya.
Aku pun
kembali bercermin pada air danau dan aku membenci diriku sendiri. Membenci segala
keindahan gunung yang telah diberikan padaku melewati banyaknya bulan purnama. Lalu
aku pun merindukan pantai dan aku merindukan diriku yang dulu. Namun, air
mataku telah membeku bersama dengan kekaguman yang telah menguap hilang.
Aku pun
pulang. Meninggalkan segala keindahan yang memang bukan untukku. Aku pun
kembali pada pantai yang telah menghiasiku dengan keindahan nyata darinya. Aku
kembali pada pasir penggilitik kaki yang kurindukan. Aku kembali pada cahaya
fajar yang sesekali dihiasi pelangi. Aku pun kembali pada teriknya mentari yang
memberikan warna tubuhku kembali. Rinduku pun terluapkan dengan langit yang
berwarna jingga tanda perpisahaan dengan mentari. Aku sadar aku merindukan
asalku dan saat itulah air mataku yang beku mengalir membasahi pipi tirusku.
Ditemani
cahaya bulan purnama memberikan gambaran jelas diriku di permukaan air laut dan
sebuah ungkapan begitu lembut ditelingaku.
“Kau
itu sungguh indah. Berlatar ombak lautan yang mendesir pasir dan disinari bulan
purnama. Sungguh, kau adalah pemandangan terindah yang pernah kusaksikan. Janganlah
kau pergi lagi dariku karena aku pun merindukan keberadaanmu disini.” Lalu ia
pun membelai lembut rambut ikal kemerahanku dengan hembusan angin.